Aku mau berbagi sedikit unek-unek tentang apa yang sedang terjadi dalam kehidupan sekolahku mengenai beberapa guru yang hadir memberi sedikit warna, grasak-grusuk dan cerita dalam kehidupan sekolahku.Â
Sejujurnya, ketika kamu adalah seorang guru yang suka menghargai apa yang benar-benar ditulis oleh anak SMA kelas 2, maka silakan dilanjut tulisan ini. Tapi, jika kamu adalah seorang pengajar yang suka emosi kalau ada anak murid sok "tahu" dengan menulis apa yang dia rasa, maka sudah, tutup saja tulisanku ini.
Aku punya beberapa cerita yang bermula dari kelas 3 SMP atau sekiranya dihitung dari tingkat SD, maka saat itu aku sedang duduk di kelas 9. Fase yang terjadi dalam tahun ke-3 aku bersekolah di Sekolah Menengah tersebut bisa kukatakan fase-fase aku harus banyak bersyukur karena memiliki begitu sedikit teman akrab yang bisa kuhabiskan sisa 1 tahun di SMP kala itu.
Karena teman akrab yang kupunya hanya berjumlah satuan, dan kesetiaan mereka yang tidak bisa kukatakan bagus saat itu, membuatku merasa aku memang tidak mempunyai orang yang tepat untuk kuajak berteman. Jadilah, aku pribadi yang kemana-mana selalu berdua, yaitu sama bayanganku sendiri!
Hampura apabila opini yang kutulis saat ini begitu ngawur dan bahasa yang kugunakan tidak bagus, seperti Kompasianer yang sudah centang biru maupun hijau. Aku menuliskan ini dilandasi oleh perasaan yang menggebu akibat dari keinginanku untuk didengar tanpa harus disalah-salahin!
Aku punya guru rival, HAHAHA rival memang, di kelas 9 saat itu. Ia adalah guru Bahasa Inggris-ku yang rupanya begitu profesional dalam mengajar, kuketahui belakangan ini karena aku sadar apa yang ia lakukan padaku saat itu membentuk diriku saat ini. Ia bernama Endang, biasa dipanggil Miss Endang. Kadang, guru Bahasa Inggris memang dipanggil Miss oleh anak murid, alih-alih dengan sebutan "Bu".
Pada intinya adalah, pertikaian kami berdua terjadi karena aku yang menggunakan buku catatan 'tidak resmi' yang seharusnya kugunakan saat mencatat rumus grammar di papan tulis. Alhasil Miss Endang menyita buku catatan 'tidak resmi' itu secara sepihak. Wajar gak, kalau aku tanya kalian, kalau aku ingin maksa buku catatan itu segera dikembalikan? Jelas, kan? Kalau saja saat itu yang ia sita adalah handphone atau apapun selain buku catatan, aku akan membiarkan ia menyita sepanjang hayatnya! Silakan!
Aku meminta buku tersebut agar cepat dikembalikan sekitar sebanyak 3x percobaan, dan diderai oleh air mata kekesalan yang dibalut dialog Bahasa Inggris di ruang guru ketika berdebat dengannya. Coba deh, kalau kamu pernah merasakan jadi remaja usia 14, kamu pasti nahan nangis kalau berdebat kan? Ngaku aja ngaku!
Waktu berjalan, pelajaran Bahasa Inggris juga terus berjalan, tidak bolong-bolong kecuali saat Miss Endang dipanggil untuk menjadi mentor bagi guru-guru se-Bekasi! dan pada saat itu aku merasakan agak kangen pada beliau, he-he-he. Aku kembali berhubungan baik dengan beliau. Bahkan berjalan begitu baik!
Caraku belajar dalam mata pelajaran Bahasa Inggris begitu berkembang pesat di bawah bimbingan beliau. Selama 1 tahun belajar bersama beliau, aku merasakan pengalaman belajar yang sesungguhnya di bawah bimbingan guru 'sejati'. Mengenangnya hari ini, aku jadi banyak berterima kasih pada masa lalu yang berjalan begitu tidak terencana namun amat menggubah!
Miss Endang adalah satu dari beberapa guru yang pernah terlibat dalam kisah hidupku, terutama dalam balutan kenangan zaman-zaman sekolah. Ada beberapa daftar guru yang aku memiliki masa lalu bersama mereka. Namun, kurasa, hubungan guru-guru denganku selama aku bersekolah 2 tahun di SMA, belum menemukan titik indah seperti yang terjadi antara aku dan Miss Endang.