KOMPASIANIVALÂ
Aku memandang lurus dan menatap kosong pada rombongan bus yang dua puluh menit lalu dikemudikan oleh driver kepercayaanku, Her. Apa yang salah pada dirinya sampai harus memaksakan mesin tua bus yang kami pakai untuk jungle trip dalam rangka menyambut Kompasianival tahun 2018? Aku ingin mendampratnya tepat di wajahnya yang ikut diserang panik  sejak ia menjelaskan permasalahan mesin yang over-heat padaku.Â
Tapi, ketika kukenang kembali saat-saat ia bercerita padaku bahwa ia masih memiliki kewajiban menafkahi anak bungsunya yang paling kecil untuk tetap melanjutkan sekolah, belum lagi perihal riwayat penyakit jantungnya yang ia adopsi sejak ia berumur 39 tahun dan kebutuhannya untuk mengobati penyakit krusialnya itu, aku menjadi begitu tidak tega untuk memarahinya atas apa yang terjadi sore ini.
"Tidak, Herr, aku jelas tidak bisa menyalahkanmu dalam kondisi ini," ucapku sambil memberikan pandangan yang kuusahakan sebaik mungkin berempati padanya.
"Ini bukan salah siapapun, dan bukan saatnya saling menyalahkan!" ujar Lukman dengan menunjukkan sikap bijaksana lagi arif di depan istrinya, Prita. Sang Istri maju dan merengkuh bahu Lukman yang tidak lagi bidang, hal ini menjadi wajar mengingat usianya yang sudah berkepala 4.Â
"Ya, benar apa yang suamiku katakan," tambah Prita, tidak akan melepaskan genggamannya pada anak semata wayangnya, Kevin. Entah bagaimana aku bisa menjelaskannya tapi terlihat seperti kekuatan keluarga Lukman dan Prita didorong oleh keberadaan Kevin yang seakan tidak takut pada situasi yang semakin gelap ini, Kevin justru menunjukkan sikap berani selayaknya anak laki-laki yang bisa diandalkan.
Kami semua terdiam, saling menggenggam tangan masing-masing pasangan jungle trip kali ini. Aku sendiri memasukkan kedua tanganku ke dalam celana jeans untuk membantuku memfokuskan diri mencari jalan keluar yang dirasa paling solutif dalam menangani masalah ini. Aku adalah bagian yang terlibat di sini, kendati aku adalah seorang pemandu wisata dalam jungle trip kali ini, aku tidak merasa bahwa aku bagian terpenting di sini.Â
Bagiku, semua sama pentingnya dan sama dibutuhkannya dalam saat-saat seperti ini. Semua ide mencari jalan keluar adalah sama pentingnya di mataku. Bahkan apabila si kecil Kevin yang baru berusia 8 tahun segera memberikan ide, aku akan sangat mempertimbangkan idenya dengan cara yang sama aku mempetimbangkan ide-ide dari orang dewasa.Â
Atau apabila Kanaya yang masih belia dan paling labil diantara kami ingin memberikan saran bagaimana caranya agar kami semua bisa terbebas dan mencari jalan keluar dari hutan konservatif ini, aku akan sangat menghargainya.Â
Atau apabila Fred, yang paling uzur diantara kami semua ingin segera memberikan andilnya untuk menjelaskan apa-apa yang sebaiknya dilakukan dalam situasi ini, aku akan mendengarkannya dan memikirkan idenya itu. Poinnya adalah, semua orang dalam pandanganku adalah sama, setara dan seragam tidak ada yang berbeda apalagi yang diunggulkan maupun dikucilkan.
"Kita tidak bisa berlama-lama di sini!" ujar Anggi dengan ketakutan dan kepanikan yang tergambar jelas di wajahnya. Ialah, menurutku, satu-satunya anggota dari rombongan ini yang paling banyak tidak memberikan keuntungan dan kerap kali terlalu banyak mengeluh.Â
Dibanding oleh Kanaya yang 2 tahun lebih muda darinya dan merupakan junior dari Anggi sendiri, ia jauh lebih tenang dalam menutupi ketegangan yang ia rasakan. Meskipun begitu, Kanaya jauh lebih membantu dengan caranya menyalakan lampu senter dari handphone-nya untuk menerangi tiap orang yang hendak bicara.
"Sabarlah, Anggi! Kita semua harus saling bisa menjaga ketenangan dan berusahalah untuk tidak terlalu panik!" gerutuku kepada Anggi. Ia terlihat ingin membalas ucapanku barusan namun tertahan oleh karena ia sama takutnya berbicara sambil memandang wajahku yang sudah terlalu penat menggubrisnya.
"Baiklah, apa idemu kalau begitu?" tanya Kanaya yang sekarang mempertanyakan hal yang aku mendengarnya terasa seakan pertanyaan itu begitu memojokkanku. Aku sendiri belum tahu apa yang sebaiknya aku lakukan.
"Begini saja," kataku akhirnya menghela napas dalam dan merasakan aroma tanah dan dedaunan yang khas dari hutan konservatif ini, "aku tahu kita butuh tumpangan selain dari bus ini, tumpangan yang bisa mengantar kita keluar dari sin. Dan itu artinya---"
"Kita harus memanggil seseorang dari luar hutan agar memberikan tumpangan ke dalam sini! Tepat sekali!" ujar Lukman, memotong ucapanku dengan idenya yang kuakui brilian itu. Aku tersenyum padanya, sementara semua kepala menoleh pada Lukman yang begitu terlihat menyukai berada di tengah-tengah perhatian seluruh rombongan.
"Ide bagus, maksudku, ya, tentu bagus sekali, kecuali satu hal," ujar Fred yang sedari tadi diam menyimak kami semua berdebat. Ia tampak ragu untuk melanjutkan kalimatnya. Namun, karena sekarang seluruh perhatian rombongan sudah tertuju padaya, ia memang harus melanjutkan kalimatnya tadi. "Masalahnya adalah, aku baru saja kehilangan telponku."
"Bukan masalah besar, Fred! Kau adalah yang kami andalkan di sini berkat pengetahuanmu! Kau seorang ahli biologi, kan? Dan kau bilang kau terbiasa bekerja di hutan? Itu sesuatu yang lebih penting dari sebuah telpon genggam, Fred!" kataku menghibur Fred, dan dengan sedikit maksud untuk menyindir Anggi yang sudah menghabiskan seluruh baterai telpon genggamnya.Â
Prita kemudian memberikan ponselnya, satu-satunya ponsel dalam rombongan ini yang masih berfungsi dalam kondisi kacau seperti sekarang. Aku mulai menelpon seseorang yang kuingat nomornya, Herman, yang tinggal merupakan penjaga pintu hutan konservatif ini.Â
Herman betul-betul dapat diandalkan, ia datang setelah memahami bahwa kejadian ini benar-benar genting dan perlu tindakan secepatnya. Ia datang sekitar 15 menit kemudian dengan motornya yang hanya dapat menampung 2 orang.Â
Orang yang kami sepakat tunjuk untuk mengisi motor Herman adalah Prita dan Kevin. Setelah sebelumnya Prita izin kepada suaminya, Lukman, mereka bergegas keluar dari hutan ini. Sementara cahaya mentari sudah tidak lagi terlihat menuju celah-celah batang pohon yang besar, dua perempuan yang tersisa dalam rombongan ini semakin terguncang dan panik.
"Aku menyarankan untuk tetap berjalan sembari mencari bantuan lainnya dari luar hutan ini. Maksudku, lebih baik seperti itu, karena semakin malam, hutan akan semakin tidak mendukung rombongan manusia seperti kita," ucap Fred, terdengar lebih percaya diri dari sebelumnya. Ketika aku memujinya beberapa menit yang lalu mengenai keberaniannya, aku tidak akan menyesali hal itu karena memang faktanya Fred begitu mudah memberi masukan hebat dan rasional untuk menolong rombongan ini.
Kami akhirnya berjalan menyusuri hutan ini sembari aku mencari bantuan lain melalu ponsel Prita yang ia titipkan padaku. Satu-satunya orang yang muncul dalam pikiranku adalah Pamanku yang sekarang tinggal di daerah sini.Â
Ia adalah Paman Oji yang sudah uzur namun begitu mudah dimintai bantuan. Ia juga begitu dekat denganku karena suatu alasan kekeluargaan. Ketika aku menelponnya, ia juga dengan sigap membawa mobilnya---kendati uzur, Paman Oji masih mahir mengemudikan mobil sedan miliknya---ke hutan ini. Ia berkata paling cepat sekitar 2 jam 30 menit untuk menempuh ke dalam hutan ini.
Kami memanfaatkan waktu tersebut untuk tetap berjalan, seperti petunjuk Fred. Fred berkontribusi besar dalam hal mencairkan suasana di dalam hutan yang kini sudah gelap gulita. Ia banyak bercerita mengenai jasad renik yang ia pernah pelajari sewaktu menjadi ahli biologi.Â
Atau ketika Lukman tidak mau kalah menceritakan pengalamannya saat mengikuti seminar yang pembicaranya merupakan seorang jurnalis terkenal dari platform Kompasiana dan bagaimana seminar itu mengubah hidupnya secara keseluruhan.
Malam semakin larut, dalam kerunyaman, samar-samar terlihat sinar kuning mengarah pada kami dan suara deru deram mesin mobil. Tentu saja itu Paman Oji, Sang Penyelamat! Ia datang lebih cepat dari dugaan kami semua.Â
Aku melirik jam dari layar ponsel Prita, 19.31. Belum terlalu malam dan rasanya pengalaman terjebak di dalam hutan ini begitu indah, tragis dan penuh dengan cerita dari background orang yang berbeda-beda.Â
Kami tiba di titik kumpul pada pukul 20.05, dan kami segera mencari bus untuk kembali ke kota. Terima kasih, Fred, Lukman dan yang lainnya, Paman Oji dan juga Herman, betapa hebatnya cara kalian menunjukkan, kerja sama adalah kunci kesuksesan tim, segawat apapun suasana, sehebat apapun permasalahan![*]
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H