Mohon tunggu...
Inggrid Inastasya Situmorang
Inggrid Inastasya Situmorang Mohon Tunggu... Mahasiswa - Hanya seorang manusia biasa yang tentu ada hal-hal yang kenyataannya tidak sesuai kata

Seorang mahasiswi Ilmu Komunikasi dan menekuni jurnalistik sebagai peminatan jurusan. Selain gemar menulis, aku juga suka kulineran, dan menonton

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan

Mengungkap Kode Etik Jurnalisme: Idealisme Vs Budak Komersial

31 Januari 2024   11:35 Diperbarui: 31 Januari 2024   11:43 84
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Birokrasi. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/GARRY LOTULUNG

Semarang-  Berbicara mengenai Jurnalisme tidak akan lepas dari kode etik jurnalisme. Dilansir dari buku Jurnalisme Kontemporer (2017) oleh Septiawan Santaa, definisi kode etik jurnalistik adalah sebagai sekumpulan prinsip moral yang merefleksikan peraturan-peraturan yang wajib dipatuhi oleh seluruh wartawan. Kode etik ini memiliki fungsi sebagai pedoman atau landasan bagi wartawan dan pers dalam memuat suatu berita.

Kegiatan jurnalisme mengumpulkan, menampilkan, dan menerbitkan informasi serta berita yang akurat sesuai dengan nilai-nilai jurnalisme (journalism values). Melalui kode etik jurnalisme kita dapat melihat perkembangan dan penerapannya apakah bernilai positif atau bahkan sebaliknya dapat bernilai negatif.

Lantas bagaimana penerapan kode etik jurnalisme di Indonesia?apakah seluruh kode etik sudah terealisasikan?apakah kode etik ini menerangi industri media atau justru melahirkan jurnalisme yang menyesatkan dan membingungkan publik?


Kode Etik Jurnalisme di Indonesia

Seorang jurnalis sudah sepatutnya mencari, mengumpulkan, dan memuat berita sesuai dengan fakta. Melalui sebuah berita profesionalisme seorang jurnalis akan terlihat apakah benar-benar menjadi jurnalis sejati atau hanya jurnalis gadungan.

Di Indonesia kode etik jurnalisme belum sepenuhnya dapat diterapkan karena masih ada jurnalis yang menganggap kode etik hanya sebagai formalitas yang tidak wajib ditaati. Kesalahan dalam kode etik jurnalisme bisa disengaja atau tidak sengaja. Namun yang kerap kali terjadi wartawan, jurnalis, dan media sengaja membuat berita clickbait agar dapat menarik minat masyarakat. Biasanya untuk menarik perhatian jurnalis membuat headline berita yang berlebihan dan tak jarang berbeda dengan fakta di lapangan.

Contohnya dapat dilihat dari kasus yang baru saja terjadi kasus perselingkuhan dokter muda dengan seniornya. Hal yang perlu digaris bawahi disini, salah satu media membuat berita dengan judul "Suami KDL Ungkap Seks Bebas Sudah Menjadi Tradisi di Fakultas Kedokteran UNHAS"

Apakah seorang jurnalis atau media berhak menyebutkan secara gamblang nama instansi? Dari segi tata penulisan sudah jelas sama sekali tidak memperhatikan kode etik jurnalistik. Artikel yang sudah diterbitkan ini tentu akan memunculkan stigma negatif terhadap kampus khususnya fakultas kedokteran.

Menurut saya hal ini sudah tidak sejalan dengan kode etik jurnalistik dan berkaitan dengan kode etik jurnalistik pasal 1 yang berisi tidak beritikad buruk berarti tidak ada niat secara sengaja dan semata-mata untuk menimbulkan kerugian pihak lain. Tetapi kenyataannya hal ini menimbulkan kerugian khususnya bagi pihak instansi yang bersangkutan.

Kasus lain yang dapat dikaitkan yakni kasus penganiayaan David, nama pelaku yang menjadi kekasih Mario Dandy secara terang-terangan dimuat dan tidak menggunakan inisial nama. Banyak sekali media yang tidak mengindahkan Kode Etik Jurnalistik dan Undang-Undang Pers No 40 Tahun 1999.  Pasal 5 Kode Etik Jurnalistik berbunyi wartawan Indonesia tidak menyebutkan dan menyiarkan identitas korban kejahatan susila dan anak yang menjadi pelaku kejahatan. Nyatanya media berlomba-lomba memberitakan tanpa menghormati hak privasi anak yang berusia dibawah 16 tahun.

Kasus lain yang sempat menggemparkan Indonesia yakni kasus Audrey yang menjadi korban perundungan dan pengeroyokan. Kasus ini sangat ramai diperbincangkan sehingga menjadi sorotan media dan beramai-ramai menyuarakan kebenaran lewat #JusticeForAudrey. Faktanya kasus Audrey ini tidak sesuai dengan yang diberitakan oleh media baik tayangan televisi maupun berita yang dimuat di media, karena kesaksian Audrey tidak selaras dengan hasil visum dan banyak ditemukan kejanggalan. Hal ini berkaitan dengan pelanggaran kode etik jurnalistik pasal 4 tentang wartawan tidak membuat berita bohong.


Idealisme Jurnalis, Kode etik Jurnalisme, dan Persaingan Bisnis Media

Pada dasarnya sifat idealisme tidaklah buruk jika berpegang teguh pada aliran yang positif. Jika seorang jurnalis memiliki sifat idealisme dengan mempertahankan kode etik jurnalisme dan Undang-Undang yang berlaku, maka ia layak disebut sebagai jurnalis sejati dan kaum intelektual yang dapat mencerdaskan khalayak.

Khalayak dapat lebih berisi dan bijak jika membaca ataupun menonton berita yang berbobot. Seperti yang sudah dibahas sebelumnya, hingga saat ini masih banyak media yang belum sepenuhnya menerapkan kode etik jurnalisme. Beberapa contohnya sudah saya bahas pada sub artikel sebelumnya.

Masa kini tengah dipenuhi dengan fenomena jurnalisme clickbait agar mampu menarik minat masyarakat untuk membaca berita tersebut. Hal ini dilakukan karena saat ini memang minat membaca dari masyarakat semakin menurun. Kebanyakan, masyarakat menyukai berita ataupun tayangan yang tidak berbobot dan penuh sensasi.

Namun hal ini tidak hanya semata-mata ingin menarik masyarakat tetapi juga dilakukan oleh media untuk kepentingan bisnis. Sejatinya media tanpa keterikatan dengan bisnis akan mati karena se-independen apapun sebuah media akan membutuhkan dorongan dari pihak luar untuk tetap bertahan. Tentu saja hal ini berpengaruh pada jurnalis dan wartawan karena terdapat Intervensi bos di dalamnya. Wartawan & jurnalis tidak lagi independent, tidak lagi mengabdi pada kebenaran tetapi mengabdi pada gerakan politik, kepentingan bisnis, dan pemilik modal.

Sampai kapan kualitas jurnalisme di Indonesia akan terus seperti ini? Bagaimana seorang jurnalis dan wartawan mampu bertindak secara idealis jika hendak menyuarakan kebenaran lewat berita bertentangan dengan perintah atasan. Lalu bagaimana fungsi dari kode etik jurnalisme tersebut? Apakah kode etik hanya sebagai formalitas tertulis tetapi pada praktiknya diabaikan.

Menjadi seorang jurnalis atau wartawan bersifat dilematik karena mereka harus memilih antara hati nurani sesuai dengan kode etik atau tunduk menjadi budak komersial. Hal ini berkaitan dengan kode etik jurnalisme pasal 1 Wartawan Indonesia bersikap independen, menghasilkan berita yang akurat, berimbang, dan tidak beritikad buruk. Independen yang dimaksud memberitakan peristiwa atau fakta sesuai dengan suara hati nurani tanpa campur tangan, paksaan, dan intervensi dari pihak lain termasuk pemilik perusahaan pers. Faktanya meskipun terdapat kode etik jurnalistik, wartawan belum dapat merasakan kebebasan sepenuhnya dalam memuat berita karena adanya intervensi dari pihak lain baik itu pihak luar atau bahkan pihak dari dalam.

Sudah jelas seharusnya media berkontribusi untuk memajukan Indonesia dengan menyajikan berita-berita aktual dan terpercaya, memberikan berita yang berbobot, dapat membina moral generasi bangsa, dan sebagai media informasi untuk menyampaikan pesan-pesan serta ide-ide pembaharuan.


Draft Rperpres Media Sustainability             

Berkaitan dengan jurnalisme dan industri media, dewan pers telah membuat dan mengajukan rancangan peraturan presiden tentang keberlanjutan media. Perpres ini memiliki nilai positif untuk memajukan media dan jurnalisme pers di Indonesia. Tetapi menurut saya kehadiran Perpres ini menimbulkan sisi negatif, beberapa diantaranya :

Platform digital dan penerbit berita akan semakin kesulitan untuk menerbitkan berita secara lebih luas. Hal ini dikarenakan setiap platform dan penerbit harus berorientasi pada jurnalisme berkualitas, kode etik jurnalistik, dan menjalin kerja sama dengan pers. Kebijakan ini tentu hanya menguntungkan segelintir pihak saja khususnya pada dewan pers.

Data algoritma yang dimiliki oleh perusahaan sudah menyangkut hal privasi dan tidak seharusnya disebarluaskan pada orang lain. Jika data algoritma harus dibagikan secara transparan kepada orang lain, maka data tersebut dapat disalahgunakan dan merugikan perusahaan.

Seharusnya setiap perusahaan dan platform digital tidak diwajibkan untuk membagi hasil penghasilan karena jika berita atau konten yang dibuat murni dari hasil pemikiran sendiri (bukan hasil daur ulang), maka mereka berhak untuk mendapatkan penghasilan secara penuh.

Berita adalah hasil karya jurnalistik oleh wartawan, yang bekerja di perusahaan pers berbadan hukum Indonesia. Dengan adanya kebijakan ini,  content creator, dan perusahaan akan semakin sulit untuk membuat konten serta berita jika tidak berprofesi sebagai wartawan.

Lalu, akankah jurnalisme di Indonesia bergerak lebih maju dan mampu berorientasi pada jurnalisme berkualitas setelah Rperpres disahkan? Belum tentu. Peraturan ini mengandung nilai, semangat, dan tujuan yang baik tetapi di lain sisi menimbulkan ketimpangan dengan platform digital, penerbit berita, dan content creator. Semoga industri media dan jurnalisme di Indonesia semakin berkembang ke arah yang lebih positif dengan tetap mempertimbangkan kesejahteraan secara berimbang dan adil.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun