Mohon tunggu...
Inggirwan Prasetiyo
Inggirwan Prasetiyo Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa Ilmu Sejarah

Suka dengan topik sejarah, sepak bola, teknologi, dan musik

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Melacak Jejak Kolonialisme di Kabupaten Klaten

24 Agustus 2022   12:49 Diperbarui: 22 Januari 2023   23:23 2984
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagian dalam Benteng Engelenburg Tahun 1928 (Sumber: Tropenmuseum)

KLATEN - Pada tanggal 17 Agustus 2022 lalu, rakyat Indonesia baru saja merayakan hari kemerdekaan yang ke-77 tahun. Setelah hampir 2 tahun upacara bendera hanya dilaksanakan secara terbatas dan berbagai lomba ditiadakan, tahun ini masyarakat bisa kembali merasakan euforia kemerdekaan seperti sedia kala.

Menggelar berbagai macam lomba khas 17-an adalah bentuk perayaan kemerdekaan yang sering kita temui di lingkungan sekitar. Masyarakat akan tumpah ruah memeriahkan kegiatan tersebut dan berlomba untuk mendapatkan hadiah. Namun selain itu, kita juga dapat mengisi kemerdekaan dengan melakukan refleksi masa lalu lewat kegiatan membaca buku-buku sejarah atau napak tilas ke bangunan bersejarah yang ada di sekitar rumah.

Kebetulan saat ini saya tinggal di sebuah daerah yang berbatasan dengan Daerah Istimewa Yogyakarta, yaitu Kabupaten Klaten. Daerah yang memiliki slogan bersinar ini menjadi penghubung Kasultanan Ngayogyakarta dan Kasunanan Surakarta, sebab berada persis di antara dua wilayah pecahan bekas Kerajaan Mataram Islam. Dengan demikian, Klaten termasuk dalam wilayah yang disebut sebagai Vorstenlanden—wilayah-wilayah kerajaan.

Posisi yang strategis bagi lalu lintas perdagangan ini didukung dengan iklim tropis serta kondisi tanah yang subur, sebab berada dekat dengan gunung aktif Merapi serta memiliki puluhan mata air (umbul) sebagai sumber irigasi. Tidak heran jika pada era kolonialisme Belanda, daerah Klaten banyak ditanami dengan berbagai macam komoditas ekspor seperti: tebu, tembakau, indigo, dan rosela.

Mengutip dari Kolonial Verslag 1891, 1901, 1911 yang ada dalam buku bertajuk Zaman Bergerak: Radikalisme Rakyat di Jawa 1912-1926 (1997) karya Takashi Shiraishi, menampilkan data komoditas unggulan di Klaten adalah olahan tebu dan tembakau yang memiliki jumlah produksi tertinggi di Karesidenan Surakarta.

Kementerengan sektor agraris Klaten mengundang kompeni Belanda untuk gencar membangun infrastruktur penunjang guna memacu pendapatan yang lebih besar lagi dari wilayah ini. Beberapa bangunan tersebut ada yang sudah berhenti beroperasi bahkan rata dengan tanah, namun ada pula yang bentuk dan fungsinya masih dipertahankan hingga kini. Berikut ini bangunan bersejarah peninggalan Belanda yang ada di Kabupaten Klaten:

Pabrik Gula Gondang Winangun

Sejak diterapkannya sistem tanam paksa pada tahun 1830, penanaman komoditas ekspor mulai gencar dilakukan guna mengisi kas negara kolonial. Kemudian berlanjut dengan kemunculan para investor swasta yang membuka lahan perkebunan baru, ini merupakan buah dari penetapan Undang-Undang Agraria tahun 1870 yang membuat usaha perkebunan semakin berkembang pesat.

Pabrik Gula Gondang Winangoen Tahun 1920 (Sumber: KITLV)
Pabrik Gula Gondang Winangoen Tahun 1920 (Sumber: KITLV)

Salah satu komoditas ekspor yang banyak ditanam adalah tebu. Secara bertahap, hasilnya menyumbang pendapatan yang tinggi bagi negara kolonial bahkan berperan sebagai roda penggerak perekonomian. Sartono Kartodirdjo dan Djoko Suryo dalam buku yang berjudul Sejarah Perkebunan di Indonesia (1991) menyebutkan, daerah jajahan merupakan tulang punggung ekonomi dari Hindia Belanda, sehingga muncul ungkapan bahwa daerah jajahan adalah “tempat Hindia Belanda mengapung”.

Pabrik pengolahan tebu yang akan dibahas kali ini bernama Pabrik Gula Gondang Winangun. Bangunan ini terletak di Desa Plawikan, Kecamatan Jogonalan, Kabupaten Klaten. Didirikan pada tahun 1860 oleh Klatensche Cultuur Maatschappij dengan nama Suikerfabriek Gondang Winangoen yang berkantor di Amsterdam, Belanda. 

PG. Gondang Winangun memiliki perkebunan tebu sendiri untuk menyuplai bahan mentah produksi gula. Lahan tersebut berasal dari sawah rakyat yang disewa selama 21,5 tahun dan ditanam berdampingan dengan padi—sistem geblagan. Luas dari lahan perkebunan di sekitar pabrik ini cukup besar, sehingga perlu dihubungkan dengan rel lori pengangkut tebu. Primus Supriono dalam majalah “Kelathi Edisi VI” (2022) menyebutkan, pengangkutan gula hasil produksi dari PG. Gondang Winangun memanfaatkan jalur rel yang terhubung dengan Stasiun Srowot. Sehingga dapat didistribusikan ke berbagai wilayah, termasuk Pelabuhan Semarang.

Jalur lori pengangkut tebu di Pabrik Gula Gondang Winangoen (Sumber: Tropenmuseum)
Jalur lori pengangkut tebu di Pabrik Gula Gondang Winangoen (Sumber: Tropenmuseum)

Dalam skripsi milik Sri Larasati yang berjudul Pengaruh Krisis Malaise Terhadap Pabrik Gula Gondang Winangun Tahun 1929-1940 yang dipublikasikan di Universitas Negeri Yogyakarta (2016) menyatakan, PG. Gondang Winangun sempat mencapai masa kejayaan pada tahun 1929 dengan jumlah produksi mencapai 1.380 kwt/ha. Namun pada tahun 1930-1935, sempat berhenti beroperasi sementara karena terjadi krisis malaise yang membuat perekonomian seluruh dunia kacau. Hal ini disebabkan oleh jatuhnya pasar saham Wall Street yang berdampak pada menurunnya daya beli konsumen dan penyusutan investasi. 

Di tengah banyaknya pabrik yang alih fungsi karena terdampak malaise, PG. Gondang Winangun tetap bertahan dan mengupayakan segala cara untuk bangkit. Beberapa di antaranya dengan meminjam modal, pengembangan bibit tebu, dan reparasi mesin penggiling untuk menaikan produktivitas. Terbukti pada tahun 1936 pabrik ini dapat kembali memproduksi gula.

Pasca Indonesia merdeka, PG. Gondang Winangun dikelola oleh BPPGN. Kemudian berubah nama menjadi PG. Gondang Baru berbentuk Perseroan Terbatas pada Desember 1957. Sayangnya tahun 2017, PG. Gondang Baru resmi dinyatakan berhenti beroperasi permanen karena kondisi persaingan. Walaupun demikian, sisa-sisa kejayaan dan kemegahan dari PG. Gondang Winangun masih dapat dinikmati oleh masyarakat lewat koleksi Museum Gula Jawa Tengah yang ada di dalam kompleks pabrik tersebut.

Rumah Sakit dr. Soeradji Tirtonegoro

Secara geografis bangunan ini terletak di sekitar lahan pertanian dan perkebunan. Tidak jauh dari lokasi rumah sakit terdapat pabrik pengolahan tebu dan tembakau, yaitu Pabrik Gula Gondang Winangoen, Pabrik Tembakau Kebonarum & Gayamprit, serta Pabrik Tembakau Wedi Birit.

Dilansir dari skripsi milik Novita Astry Ani di Universitas Sebelas Maret bertajuk Rumah Sakit Dokter Scheurer Klaten Tahun 1927-1942 (2019), menyebutkan bahwa rumah sakit ini diresmikan pada tanggal 21 Desember 1927 dengan nama Dr. Scheurer Hospitaal.

Tenaga Kesehatan dan Perawat di depan Dr. Scheurer Hospitaal (Sumber: rsupsoeradji.id)
Tenaga Kesehatan dan Perawat di depan Dr. Scheurer Hospitaal (Sumber: rsupsoeradji.id)

Pendirian rumah sakit ini dimulai pada tahun 1923 yang dibiayai oleh Klatensche Cultuur Maatschappij. Hal ini dilakukan sebagai respon terhadap wabah penyakit yang banyak menyerang para pekerja di perkebunan. Wabah tersebut berdampak pada membludaknya pasien di rumah sakit pembantu Gayamprit dan Wedi. Sehingga sesuai saran dari Dr. J. G. Scheurer—dokter utusan Nederlandse Zendingsvereniging yang juga mendirikan RS. Bethesda Yogyakarta—dibuatlah rumah sakit induk untuk mengakomodasi para pasien tersebut.

Setelah rampung, pengelolaan Dr. Scheurer Hospitaal kemudian diserahkan kepada Gereja Delft—yayasan zending—yang bergerak di bidang kesejahteraan umat dan dipimpin oleh Dr. Bakker. Sehingga selain untuk merawat pasien, rumah sakit ini kemudian juga melakukan kegiatan pekabaran injil.

Ruang Perawatan Pasien Wanita di  Dr. Scheurer Hospitaal (Sumber: Delpher)
Ruang Perawatan Pasien Wanita di  Dr. Scheurer Hospitaal (Sumber: Delpher)

Pemberian nama Dr. Scheurer pada rumah sakit ini dilakukan untuk mengenang jasa-jasanya menolong warga yang sakit dan menjadi pelopor pelayanan kesehatan di daerah Jawa Tengah bagian selatan dan Yogyakarta.

Setelah Indonesia merdeka, bangunan ini berubah nama menjadi Rumah Sakit Umum Tegalyoso sesuai dengan nama desa yang menjadi lokasi rumah sakit tersebut. Pada tanggal 5 Maret 1946, RSU Tegalyoso membuka Perguruan Tinggi Kedokteran bagian Pre Klinik yang kemudian menjadi cikal bakal Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah Mada. Melalui SK Menteri Kesehatan No. 1442 A/Menkes/SK/XII/1997, nama rumah sakit ini ditetapkan menjadi RSUP dr. Soeradji Tirtonegoro dan bertahan hingga sekarang.

Benteng Engelenburg

Benteng atau juga disebut sebagai loji ini dulunya terletak di Desa Klaten—kini telah berubah menjadi kawasan alun-alun dan masjid raya—yang dibangun pada masa pemerintahan Sunan Pakubuwono IV (1788–1820 M). Sebelumnya, rencana awal pembangunan benteng ini berada di Desa Merbung, namun dipindah karena pertimbangan lokasi yang lebih strategis.

Benteng Engelenburg di Kabupaten Klaten Tahun 1910 (Sumber: KITLV)
Benteng Engelenburg di Kabupaten Klaten Tahun 1910 (Sumber: KITLV)

Galih Sekar Jati Nagari dalam artikel berjudul “Kawasan Pusat Kota Klaten Pada Masa Kolonial Hindia Belanda”, yang terhimpun dalam jurnal Sengkhala (2020) menyebutkan, pembangunan Benteng Engelenburg dilakukan melalui perundingan antara Nicolaus Engelhard bersama Kapten H.C. Cornelius di bawah arahan dari Letnan Kolonel Karel von Wollzogen pada tahun 1802. Tujuan keberadaan benteng ini untuk menjaga keamanan dan stabilitas di wilayah Vorstenlanden.

Berbeda dengan wilayah di sekitar Klaten pada umumnya yang masuk dalam kekuasaan Kasunanan Surakarta, Benteng Engelenburg merupakan sebagian kecil dari pengecualian itu. Faktanya benteng ini masih termasuk dalam wilayah Kasultanan Yogyakarta. Letaknya yang berada di jalur utama transportasi membuat Klaten semakin dikenal dan ramai dengan lalu lalang kendaraan pembawa barang dagang dari hasil perkebunan.

Bagian dalam Benteng Engelenburg Tahun 1928 (Sumber: Tropenmuseum)
Bagian dalam Benteng Engelenburg Tahun 1928 (Sumber: Tropenmuseum)

Primus Supriono menuliskan Benteng Engelenburg memiliki sengakalan—penanggalan kuno—berbunyi Rupa Mantri Swaraning Jalak atau dapat dimaknai sebagai 28 Juli 1804, dalam majalah “Kelathi Edisi V” (2022). Tanggal ini merupakan penanda dari peletakan batu pertama bangunan benteng dan menjadi cikal bakal munculnya Kabupaten Klaten yang sekarang ini kita kenal.

Berdasarkan bukti sengkalan tersebut, pemerintah setempat melalui Peraturan Daerah Nomor 12 Tahun 2007 menetapkan hari jadi Kabupaten Klaten jatuh pada tanggal 28 Juli dan diperingati setiap tahun.

Referensi:

Diskominfo Klaten, “Kelathi Edisi V”, 7 Juli 2022, diakses dari https://klatenkab.go.id/majalah-kelathi-edisi-5/.

Diskominfo Klaten, “Kelathi Edisi VI”, 27 Juli 2022, diakses dari https://klatenkab.go.id/majalah-kelathi-edisi-6-special-hari-jadi-klaten-218/kelathi-edisi-vi/.

Galih Sekar Jati Nagari,“Kawasan Pusat Kota Klaten Pada Masa Kolonial Hindia Belanda”, Sengkhala, Vol. 23, No. 1, 2020, hlm. 28-45. 

Novita Astry Ani, “Rumah Sakit Dokter Scheurer Klaten Tahun 1927-1942”, Skripsi, Surakarta: Universitas Sebelas Maret, 2019.

Sartono Kartodirdjo dan Djoko Suryo, Sejarah Perkebunan di Indonesia, (Yogyakarta: Aditya Media, 1991).

Sri Larasati, “Pengaruh Krisis Malaise Terhadap Pabrik Gula Gondang Winangun Tahun 1929-1940”, Skripsi, Yogyakarta: Universitas Negeri Yogyakarta, 2016.

Takashi Shiraishi, Zaman Bergerak: Radikalisme Rakyat di Jawa 1912-1926, (Jakarta: Pustaka Utama Grafiti, 1997).

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun