PG. Gondang Winangun memiliki perkebunan tebu sendiri untuk menyuplai bahan mentah produksi gula. Lahan tersebut berasal dari sawah rakyat yang disewa selama 21,5 tahun dan ditanam berdampingan dengan padi—sistem geblagan. Luas dari lahan perkebunan di sekitar pabrik ini cukup besar, sehingga perlu dihubungkan dengan rel lori pengangkut tebu. Primus Supriono dalam majalah “Kelathi Edisi VI” (2022) menyebutkan, pengangkutan gula hasil produksi dari PG. Gondang Winangun memanfaatkan jalur rel yang terhubung dengan Stasiun Srowot. Sehingga dapat didistribusikan ke berbagai wilayah, termasuk Pelabuhan Semarang.
Dalam skripsi milik Sri Larasati yang berjudul Pengaruh Krisis Malaise Terhadap Pabrik Gula Gondang Winangun Tahun 1929-1940 yang dipublikasikan di Universitas Negeri Yogyakarta (2016) menyatakan, PG. Gondang Winangun sempat mencapai masa kejayaan pada tahun 1929 dengan jumlah produksi mencapai 1.380 kwt/ha. Namun pada tahun 1930-1935, sempat berhenti beroperasi sementara karena terjadi krisis malaise yang membuat perekonomian seluruh dunia kacau. Hal ini disebabkan oleh jatuhnya pasar saham Wall Street yang berdampak pada menurunnya daya beli konsumen dan penyusutan investasi.
Di tengah banyaknya pabrik yang alih fungsi karena terdampak malaise, PG. Gondang Winangun tetap bertahan dan mengupayakan segala cara untuk bangkit. Beberapa di antaranya dengan meminjam modal, pengembangan bibit tebu, dan reparasi mesin penggiling untuk menaikan produktivitas. Terbukti pada tahun 1936 pabrik ini dapat kembali memproduksi gula.
Pasca Indonesia merdeka, PG. Gondang Winangun dikelola oleh BPPGN. Kemudian berubah nama menjadi PG. Gondang Baru berbentuk Perseroan Terbatas pada Desember 1957. Sayangnya tahun 2017, PG. Gondang Baru resmi dinyatakan berhenti beroperasi permanen karena kondisi persaingan. Walaupun demikian, sisa-sisa kejayaan dan kemegahan dari PG. Gondang Winangun masih dapat dinikmati oleh masyarakat lewat koleksi Museum Gula Jawa Tengah yang ada di dalam kompleks pabrik tersebut.
Rumah Sakit dr. Soeradji Tirtonegoro
Secara geografis bangunan ini terletak di sekitar lahan pertanian dan perkebunan. Tidak jauh dari lokasi rumah sakit terdapat pabrik pengolahan tebu dan tembakau, yaitu Pabrik Gula Gondang Winangoen, Pabrik Tembakau Kebonarum & Gayamprit, serta Pabrik Tembakau Wedi Birit.
Dilansir dari skripsi milik Novita Astry Ani di Universitas Sebelas Maret bertajuk Rumah Sakit Dokter Scheurer Klaten Tahun 1927-1942 (2019), menyebutkan bahwa rumah sakit ini diresmikan pada tanggal 21 Desember 1927 dengan nama Dr. Scheurer Hospitaal.
Pendirian rumah sakit ini dimulai pada tahun 1923 yang dibiayai oleh Klatensche Cultuur Maatschappij. Hal ini dilakukan sebagai respon terhadap wabah penyakit yang banyak menyerang para pekerja di perkebunan. Wabah tersebut berdampak pada membludaknya pasien di rumah sakit pembantu Gayamprit dan Wedi. Sehingga sesuai saran dari Dr. J. G. Scheurer—dokter utusan Nederlandse Zendingsvereniging yang juga mendirikan RS. Bethesda Yogyakarta—dibuatlah rumah sakit induk untuk mengakomodasi para pasien tersebut.
Setelah rampung, pengelolaan Dr. Scheurer Hospitaal kemudian diserahkan kepada Gereja Delft—yayasan zending—yang bergerak di bidang kesejahteraan umat dan dipimpin oleh Dr. Bakker. Sehingga selain untuk merawat pasien, rumah sakit ini kemudian juga melakukan kegiatan pekabaran injil.