Mohon tunggu...
A Muhibbuddin Firdaus
A Muhibbuddin Firdaus Mohon Tunggu... -

Seseorang yang kalau di kompasiana adalah penulis.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Tahu Petis, Layang-layang, dan Hutan Perawan

7 Juli 2010   12:38 Diperbarui: 26 Juni 2015   15:01 95
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Hai semua, pada ngapain nih njelang isroj mi'roj gini? jadi panitia di desa, pengisi acara pengajian, ato malah nyante dan download film? oke deh, moga yang terbaik buat kalian semua.

Saat aku kecil dahulu, sering orang tuaku mengajak ke lapangan, nonton bola yang disponsori oleh perusahaan rokok terkenal, biasanya turnamen itu berlangsung selama sebulan, menghadirkan tim-tim hebat dari kota sekitar kami; kediri, malang, surabaya, dan sebagainya.

Yang kuingat saat itu adalah masa keemasan pergerakan olahraga di desaku. orang-orang berdatangan ke desaku hanya demi menonton bola, taruhan, atau sekedar iseng ga tau mau ngapain di sore hari. Pamanku adalah petaruh yang hebat, entah berapa rupiah yang berhasil dia kantongi setiap permainan, biasanya aku dibelikannya tahu petis kesukaan demi memuaskan kesenangan ponakannya tercinta.

Tapi yang paling menyebalkan dari itu semua adalah saat aku ketiduran dan tertinggal tahu petis, tanpa pikir panjang aku lari ke lapangan dan biasanya nerobos masuk tanpa bayar tiket. dan seperti ritual sehari hari aku harus bersabar menanti hadiah yang kuperoleh sampai waktu malam, maklum taruhannya biasanya selesai jam 6 sore.

Yang kusuka dari tahu petis itu sendiri adalah bukan tahunya atau petisnya, tapi anak cewek yang senantiasa absen makan tahu petis, belakangan kutahu dia adalah tetanggaku, namanya wiwik. walaupun dia makan tahu setiap hari, badannya seksi sekali, setidaknya saat itu.

Bulan berganti dan tahun berubah, kesukaanku pada tahu petis mulai memudar. Aku lebih suka menghabiskan masa kecilku dengan memainkan layang-layang, mengamati dari bawah, rasanya aku ingin memanjat benang itu walaupun diameternya sebesar 1mm, entah bagaiamana saat itu aku terobsesi dengan ketinggian.

Pindah dari satu pohon ke pohon yang lain dari atas adalah salah satu contoh obsesiku akan ketinggian, membuatku merasa seakan berkuasa di seluruh jagat raya. bahkan dalam rekor naik pohon aku hanya jatuh sekali, namun itupun karena aku tidak menjabani teriakan ibu yang kebingungan mencariku di teriknya siang.

Sekarang pikiranku pun seperti memanjat pohon, berkelana dari satu pohon ke pohon yang lain. karena kupikir pikiran dan pohon adalah sesuatu yang sama, sama sama memiliki cabang, sama sama berpijak di tanah, dan yang satu berpijak di alam khayal, dan kenapa aku tidak bisa berpindah dari satu ke yang lainnya? begitulah kira-kira pikiranku saat ini.

Namun kutahu belakangan, bahwa pikiran adalah hutan, hutan perawan yang siap dipanjat, di ambil buahnya dan di jual ke pasar, namun kadang juga tidak setiap pohon bisa menghasilkan buah yang laku, ada juga buah yang tidak enak dimakan bahkan untuk dilihat pun tidak sedap, seperti pikiran negatif.

Untuk membedakan pikiran negatif atau positif, biasanya aku menggunakan parameter sederhana; pertama, biasanya emosiku sangat labil jika dihinggapi pikiran negatif ini. Kedua, biasanya pikiran ini bersifat sementara dan hanya sesekali memberikan masukan yang masuk akal, tapi dibanyak kasus, pikiran ini biasanya menghambat kegiatan kreatifku.

Dan dalam banyak kesempatan, aku banyak tertolong oleh pepohonan positif, seperti kasus yang kualami kemarin siang. Jadi gini, ada kostumer yang marah-marah gitu gara-gara bilyet-gironya tidak bisa dicairkan di bank kotaku, akhirnya dia meluapkan semua emosi dan mengatakan perusahaan yang menaungiku kurang bonafide dan tidak seperti perusahaan lain yang tidak pernah komplain akan BGnya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun