HARIMBALE: PASAR TRADISIONAL ONO NIHA
Perjalanan dari Mandrehe menuju Gunungsitoli pada hari Senin pagi, saya mengalami dua kali kemacetan di jalan. Kedua hal ini bukan karena adanya kecelakaan atau keributan, melainkan karena adanya kerumunan orang. Kemurumunan ini bukan karena tidak ada sebab, melainkan karena kerumunan ini direncanakan dan dijadwalkan setiap minggunya. Kerumunan itu dalam kebiasaan Ono Niha disebut Harimbale.
Harimbale jika diterjemahkan secara harafiah kata ke dalam Bahasa Indonesia, maka diperoleh arti pekan atau pasar. Bapak HS. Zebua alias Ama Idaman Zebua dalam Kamus Sederhana Bahasa Daerah Nias Indonesia menerjemahkan kata "harimbale" menjadi "pekan-pekan; pasar sekali seminggu; tempat berjualan pada suatu tempat yang telah ditentukan waktunya/harinya".Â
Dari pengertian ini secara cepat dapat diketahui bahwa harimbale itu merupakan suatu waktu yang telah ditentukan waktu/hari (sekali seminggu) dan tempatnya untuk kemudian masyarakat sekitar menggunakan waktu/hari dan tempat tersebut menjadi sarana menjual barang yang hendak dijual berupa hasil bumi, kerajinan tangan dan lain sebagainya, dan juga membeli berbagai kebutuhan berupa kebutuhan dapur dan kebutuhan rumah tangga dalam kurun waktu satu minggu.
Dalam penetapan lokasi dan waktu diadakannya harimbale, pemerintah daerah memiki peran yang sangat sentral. Hal ini pertama-tama dibagi dalam kurun waktu satu minggu dengan memperhatikan lokasi yang sentral dan membedakannya setiap daerah.Â
Selain itu, pemerintah juga membatu dalam pembuatan bangunan yang digunakan menjadi tempat berjualan. Lewat penyediaan sarana ini juga, pemerintah daerah meminta retribusi kepada setiap pengguna fasilitas yang kemudian menjadi pemasukan daerah. Selain itu, pemerintah daerah juga berperan aktif dalam menjaga kestabilan harga pasar.
Terlepas dari penjelasan di atas, sepanjang perjalanan dari Mandrehe menuju Gunungsitoli, saya terus memikirkan segala sesuatu yang terjadi di setiap kali ada harimbale.Â
Sebagai seorang yang hidup dan berkembang dalam lingkaran Ono Niha, saya juga turut merasakan yang namanya harimbale. Di harimbale kita dapat menemukan hal menyenangkan sekaligus hal yang menggelisahkan bahkan bisa mencemaskan. Kedua hal ini muncul karena kebiasaan dan tingkah laku dari Ono Niha itu sendiri.
Dimulai dari hal yang menyenangkan. Harimbale menjadi tempat yang sangat menyenangkan bagi masyarakat Ono Niha karena beberapa hal:
Pertama-tama, harimbale menjadi sangat menyenangkan karena di saat inilah semua orang akan menjual hasil jerih payahnya sepanjang minggu. Masyarakan Ono Niha yang kebanyakan bertani, sepanjang satu minggu seluruh hasil bumi dikumpulkan.Â
Contohnya menderes karet selama satu minggu, getahnya akan dijual saat harimbale. Pinang atau Coklat yang telah dikeringkan selama satu minggu, hendak dijual nantinya di harimbale. Begitulah seterusnya, bahwa seluruh kegiatan selama satu minggu dan akan disalurkan seluruhnya pada saat harimbale tersebut.Â
Dengan mendapatkan uang dari hasil penjualan tersebut, dengan senang hati perjalanan ke harimbale menjadi sangat menyenangkan dan dengan leluasa membelanjakan segala sesuatu yang dibutuhkan.
Kedua, harimbale menjadi sarana pemuas dahaga atau hari istrahat dan melepaskan penat. Ada saja orang yang ke harimbale hanya untuk merasakan kebebasannya, tanpa ada yang dijual atau dibelanjakan.Â
Di sini ada saja orang yang hanya ingin menampilkan seluruh gaya dan fashion yang dimilikinya. Di sini ada ungkapan dalam Bahasa Nias dikatakan "he l kefe, asala so kofekofe" (biar uang tidak ada, asalkan ada dompet). Ungkapan ini mau menunjukkan penampilan itu sangat dikedepankan.
Ketiga, harimbale menjadi sarana pertemuan. Dalam kebiasaan Ono Niha, harimbale menjadi satu momen penting untuk dapat bertemu sanak saudara dan famili yang berada di daerah yang berbeda. Hal ini menjadi lebih diutamakan terutama ketika seorang ibu dalam rumah tangga sedang ingin melihat calon menantunya.Â
Di harimbale seorang calon ibu mertua akan memperhatikan dengan sangat calon menantunya secara diam-diam. Mulai dari cara bergaya, hingga kepada cara berinteraksinya kepada orang lain. Hal ini diungkapkan dengan filosofi: "ha amuata nifaigi, ba ha buabua nitngni" (hanya perilaku yang dilihat, dan hanyalah sikap yang diingat).
Keempat, harimbale menjadi saran perjanjian. Ono Niha memiliki satu kebiasaan yang sulit diubah yakni menjanjikan. Segala sesuati yang dilakukan dalam hal pinjam meminjam, ujung-ujungnya berpusat pada harimbale. Sering dikatakan: "ba luo harimbale dania ufuli/ugati khu" (pada hari pekan nanti akan saya kembalikan/ganti padamu).Â
Dalam perjanjian ini dipakai filofosi: "Aro jaji moroi ba huku" (janji lebih kuat dari hukum). Dalam perjanjian ini kedua belah pihak saling mempercayai, dan si pemberi pinjaman yakin bahwa si peminjam akan mengembalikan karena di saat harimbale posisi keuangan akan stabil.
Keempat hal yang telah diuraikan di atas menjadi bagian yang sungguh menyenangkan pada saat harimbale. Namun hal menyenangkan di atas akan berubah dengan seketika, ketika hal menggelisahkan atau bahkan mencemaskan terjadi. Berikut beberapa hal yang sering terjadi di harimbale.
- Harimbale menjadi sarana pemborosan dan sarana penunjukkan kesombongan atau kekuatan. Dalam kebiasaan Ono Niha, harimbale menjadi tempat orang melampiaskan seluruh dirinya. Mulai dari mengkonsumsi tuo nifaro (tuak suling) secara berlebihan, hingga kepada perkelahian. Tidak jarang bahwa orang yang semula minum bersama dan bersenda gurau, tiba-tiba mengeluarkan nada tinggi yang berujung kepada perkelahian. Perkelahian semacam ini bisa melibatkan banyak orang dan bahkan berujung kepada hilangnya nyawa.
- Biasanya lokasi harimbale berada di sekitar jalan raya. Namun hal ini kadang kala menjadi satu hal yang mengganggu pengguna jalan raya. Masyarakat yang menjual barang dan bahkan pembeli, sungguh tidak menghiraukan pengguna jalan raya yang lain. Semua orang biasanya memenuhi ruas jalan sehingga pengguna jalan raya, khususnya roda empat ke atas, sungguh sangat terganggu.
Kedua hal ini setidaknya memberikan gambaran akan hal-hal yang menggelisahkan atau bahkan mencemaskan ketika harimbale. Keributan saat harimbale sungguh menggelisahkan bahkan mencemaskan bukan hanya kedua belah pihak yang bertikai, namun penjual dan pembeli yang datang ke harimbale juga ikut cemas. Apalagi dengan pengguna jalan raya, kecelakaan tidak pernah diundang, namun ketika kecelakaan akan lebih menyalahkan si pengendara tanpa menyadari kesalahannya juga.
Kedua hal yang di dapat di harimbale, menjadi renungan tersendiri bagi semua masyarakat Ono Niha. Yas Zalukhu dalam Lagu Ciptaannya yang berjudul: "Sogai Git" (penderes karet) mengisahkan pekerjaan yang satu minggu habis dalam satu hari. "Si l boto halwma ya'aga sogai git, sabata ma sndra gefe, sabata matibo'" (tidak ada gunanya pekerjaan kami yang hanya menderes karet, sebentar dapat uang, sebentar kami buang).Â
Orang dapat dengan seketika memiliki kekayaan dan dapat juga dengan seketika menghancurkannya. Di sini sangat dibutuhkan semangat kebijaksanaan, "bi a'igi'igi na abuso, no manaronaro fnau mbawa lofo, ba bi ege'ege ba mbawa wa'olofo no so fnau mbawa wa'abuso" (jangan tertawa pada saat kenyang, kelaparan telah menantimu di depan, dan jangan menangir pada saat lapar di depan engkau akan kenyang), dan atau "na ami ba bi alio tl, ba na afeto ba bi alio tura'" (kalau enak jangan cepat ditelan dan kalau pahit jangan cepat dimuntahkan).
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H