KELAPA GADING - Pada media 2005, Tuhan memberi ujian. Darah menetes dari kemaluanku. Kukira, itu hal yang normal. Mungkin, sisa-sisa proses menstruasi. Aku tidak terlalu khawatir. Namun, kejadian ini berulang untuk kali kedua. Rasa panik mulai menyerang. Terlebih, pasca kejadian, masa menstruasi berlangsung lebih lama hingga 15 hari. Darah yang keluar pun lebih banyak. Lalu, suami bergegas mengajakku memeriksakan diri ke dokter.
Ternyata, hasilnya sungguh diluar dugaan. Dokter memvonisku mengidap kanker serviks stadium 2B. Lantas, dia menganjurkan untuk segera melakukan operasi. Aku menangis sejadi-jadinya. Begitu pun dengan suami dan anak-anak.
Semangat hidup perlahan terkikis. Mengapa penyakit ini harus bersarang di tubuhku? Rasa pesimis muncul. Aku merasa hidupku tidak lama lagi. Pasalnya, kakek, nenek, dan budeku meninggal karena kanker. Lalu, untuk apa melakukan operasi bila hasil akhirnya sudah kuketahui.
Alhasil, aku yang dulu aktif berubah menjadi sosok pemurung. Bahkan, saking kalutnya, tak jarang, aku sampai tidak makan seharian. Aku berharap Tuhan segera mengambil nyawaku agar hidupku tidak menjadi beban keluarga.
Dalam kekalutan itu, suami dan kedua anakku hadir bak sosok juru penyelamat. Mereka terus memberi motivasi agar aku mau menjalani operasi. Akhirnya, karena rasa cinta, aku menuruti semua permintaan mereka.
Usai operasi, dokter meminta untuk melanjutkan pengobatan ke proses kemoterapi sebanyak tiga kali. Lagi-lagi, aku menolak. Aku takut. Sebab, rasanya pasti sangat menyiksa. Terlebih, pasca operasi. Namun, karena cinta keluarga, aku kembali menuruti.
[caption id="attachment_5383" align="alignright" width="300" caption="Berjuang Melawan Kanker"] [/caption]
Ternyata benar. Usai melakukan kemoterapi, sekujur tubuh terasa panas. Aku tidak bisa mengonsumsi makanan apapun. Setiap kali makan, pasti muntah. Hingga, aku memohon kepada dokter untuk tidak melanjutkan proses kemoterapi selanjutnya.
Lantas, bukan menyetujui, dokter malah memarahiku. “Terserah kalau memang ibu tidak sayang pada diri sendiri dan keluarga tidak perlu dikemoterapi,” kenang Raheni menirukan perkataan dokter kala itu. Aku seperti tercambuk dengan kata-kata dokter itu. Semangat untuk sembuh kian membara. Akhirnya kujalani semua proses itu.
Efeknya, bertambah parah. Tubuhku terasa semakin lemas. Terlebih, setelah proses kemoterapi ketiga. Aku sempat tidak lagi mengenal siapapun kecuali suami. Beruntung, itu tidak berlangsung lama. Sesudahnya, aku terus menjalani pengobatan rutin dan check up setiap satu kali dalam satu tahun.
Hingga pada awal 2009, dokter mengatakan aku sembuh dari kanker. Allah SWT masih memberiku kesempatan hidup. Kini, di usia ke-51 tahun, aku akan habiskan sisa hidup untuk mendekatkan diri pada-Nya dan memperbaiki kesalahan pola hidup pada masa lalu.
Reporter : M. Fahri Huseini
Fotografer : Budi Hermawan
Editor : Wahyu Arif Hidayat
Sumber : infonitas.com
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H