Sejatinya berita, dalam hal ini di media online/portal berita, membawa pesan perubahan dan pencerahan terkait dengan satu hal dalam kaitan ini yaitu (epidemi) HIV/AIDS.
Media merupakan agent of (social) change yaitu memberikan informasi yang utuh sebagai pencerahan kepada masyarakat dengan harapan ada perubahan perilaku. Tentu saja dengan pijakan field of experience (tingkat pengalaman) dan frame of reference (bisa disebut tingkat literasi) sasaran.
Baca juga: Menggugat Peran Pers Nasional dalam Penanggulangan AIDS di Indonesia (Kompasiana, 9 Februari 2018)
Pencerahan, dalam hal ini cara-cara mencegah penularan HIV/AIDS, terutama melalui hubungan seksual sangat penting karena laporan jurnal internasional menunjukkan Indonesia memiliki jumlah infeksi HIV baru terbesar keempat per tahun di dunia. Organisasi Kesehatan Dunia PBB (WHO) perkirakan ada 73.000 kasus infeksi HIV baru per tahun di Indonesia. Angka ini hanya tertinggal dari China, India, dan Rusia (aidsmap.com, 4 September 2018).
Perkiaraan WHO itu tidak meleset karena pada priode Januari-Desember 2023 kasus infeksi HIV baru di Indonesia dilaporkan sebanyak 57.299. Angka ini tidak menggambar kasus yang sebenanya di masyarakat karena epidemi HIV/AIDS erat kaitannya dengan fenomena gunung es.
Kasus HIV/AIDS yang dilaporkan atau terdeteksi digambarkan sebagai puncak gunung es yang muncul ke atas permukaan air laut, sedangkan kasus HIV/AIDS yang tidak terdeteksi di masyarakat digambarkan sebagai bongkahan gunung es di bawah permukaan air laut (Lihat Gambar).
Maka, bisa jadi kasus infeksi HIV baru pada rentang waktu tahun 2023 bisa di atas prediksi WHO.
Tampaknya, kasus infeksi HIV baru tidak akan turun di tahun-tahun mendatang karena dalam 19 berita yang diselisik tidak ada informasi tentang cara pemerintah menurunkan insiden infeksi HIV baru, terutama pada laki-laki dewasa melalui hubungan seksual dengan pekerja seks komersial (PSK) langsung (kasat mata) dan PSK tidak langsung (tidak kasat mata), seperti cewek prostitusi online.
Baca juga: Penanggulangan AIDS di Indonesia Hanya Dilakukan di Hilir (Kompasiana, 9 November 2010)
Itu artinnya dengan 57.299 kasus infeksi HIV baru per tahun di "Indonesia Emas" tahun 2045 jumlah kasus kumulatif infeksi HIV bisa mencapai 1.769.986 (kasus sampai Desember 2023= 566.707 + 1.203.279 (kasus selama 21 tahun mendatang).
Dunia medis sudah mengidentifikasi cara-cara penularan dan pencegahan HIV/AIDS, tapi karena dari awal kasus ini dibalut dan dibumbui dengan norma, moral dan agama, maka yang muncul kemudian adalah mitos (anggapan yang salah) tentang HIV/AIDS.
Pada Hari AIDS Sedunia tanggal 1 Desember 2024 ini media online di Indonesia hanya mengumbar hoaks dan mitos terkait dengan penularan HIV/AIDS. Yang ironis sumber mereka justru kalangan medis dan jajaran institusi kesehatan.
Berita dan artikel yang menyebarkan hoaks dan misleading sebenarnya bisa dibawa ke ranah hukum sesuai dengan UU ITE.
Dalam 19 berita yang diselisik menunjukkan semua tidak memberikan informasi tentang cara-cara penularan dan pencegahan HIV/AIDS yang berpijak pada fakta medis (lihat tabel).
Yang diumbar justru isu yang dikemas sebagai berita yang sensasional (KBBI: menggemparkan) dan bombastis (KBBI: bersifat omong kosong), tapi justru hoaks dan mitos (anggapan yang salah tentang HIV/AIDS).
Yang paling menonjol dengan kategori hoaks sehingga misleading (menyesatkan) adalah menyebut seks bebas sebagai penyebab HIV/AIDS.
Pertama, dalam semua berita itu tidak ada penjelasan atau definisi yang akurat tentang apa yang dimaksud dengan seks bebas.
Jika seks bebas diartikan sebagai hubungan seksual di luar nikah (zina), maka menyebut penularan HIV/AIDS melalui hubungan seksual karena zina (sifat hubungan seksual) adalah informasi bohong (hoaks) dan menyesatkan.
Secara empiris penularan HIV/AIDS melalui hubungan seksual penetrasi (seks oral, vaginal atau anal) bukan karena sifat hubungan seksual (seks bebas), tapi karena kondisi saat terjadi hubungan seksual yaitu salah satu atau keduanya mengidap HIV/AIDS dan laki-laki atau yang menganal tidak memakai kondom.
Kedua, mengumbar kasus HIV/AIDS pada remaja dan usia produktif. Tapi, sama sekali tidak ada pemaparan: mengapa dan bagaimana (hal itu terjadi)?
Kasus HIV/AIDS pada remaja dan usia produktif adalah realitas sosial karena para rentang usia itu libido tinggi sehingga perlu penyaluran yang tidak bisa disubsitusi (diganti) dengan kegiatan lain selain hubungan seksual atau 'swalayan' (onani atau masturbasi).
Celakanya, selama ini materi informasi HIV/AIDS dalam komunikasi, informasi dan edukasi (KIE) dibalut dan dibumbui dengan norma, moral dan agama sehingga cara-cara penularan dan pencegahan HIV/AIDS yang berpijak pada fakta medis tidak sampai kalangan remaja dan usia produktif.
Misalnya, mengaitkan penularan HIV/AIDS dengan pelacuran. Nah, remaja dan usia produktif melakukan hubungan seksual dengan perempuan yang bukan pekerja seks komersial (PSK) langsung (kasat mata), antara lain dengan cewek prostitusi online. Mereka pikir itu bukan PSK, tapi pada prakteknya cewek prostitusi online juga sama seperti PSK langsung yaitu melakukan hubungan seksual dengan laki-laki yang berganti-ganti.
Ketiga, yang diumbar adalah kasus pada LSL (lekali suka seks lelaki), tapi lagi-lagi tidak ada penjelasan mengapa dan bagaimana bisa terjadi kasus HIV/AIDS banyak terdeteksi pada LSL?
Paling tidak secara empiris hal itu terjadi karena ada penjangkauan melalui komunitas LSL sehingga banyak kasus terdeteksi. Sebaliknya, tidak ada penjangkauan pada kalangan suami sehingga tidak banyak kasus terdeteksi. Bahkan, suami perempuan hamil yang terdeteksi HIV-positif tidak menjalani tes HIV.
Yang menyesatkan adalah pemakaian frasa 'mendominasi.' Dalam KBBI dominasi adalah penguasaan oleh pihak yang lebih kuat terhadap yang lebih lemah (dalam bidang politik, militer, ekonomi, perdagangan, olahraga, dan sebagainya).
Nah, bagaiaman caranya kalangan remaja dan usia produktif serta LSL mendominasi penularan HIV/AIDS?
Busyet .... Apakah kalangan remaja dan usia produktif serta LSL melarang HIV/AIDS menulari kalangan lain? Atau kalangan remaja dan usia produktif serta LSL melarang kalangan heteroseksual melalui perilaku seksual yang berisiko tertular HIV/AIDS?
Semua berita hanya berdasakan statement narasumber yang dalam jurnalistik disebut berita dengan kualifikasi talking news yang sejajar dengan esai atau cerpen.
Berita yang tayang pada Hari AIDS Sedunia 2024 sama sekali tidak membawa pencerahan karena hanya berada di ranah opini tanpa ada gambaran riil berupa realitas sosial di social settings.
Berita-berita tersebut justru menyisakan pertanyaan yang sangat mendasar, antara lain:
- Mengapa dan bagaimana bisa terjadi banyak kasus pada remaja dan usia produktif?
- Mengapa dan bagaimana bisa terjadi banyak kasus pada kalangan LSL?
Sudah saatnya Kementerian Kesehatan (Kemenkes) dan jaran dinas-dinas kesehatan serta KPA juga institusi terkait dengan HIV/AIDS lebih arif dan bijaksana dalam memberikan statement tentang HIV/AIDS agar tidak hanya bersifat talking news. <>
* Syaiful W Harahap adalah penulis buku: (1) PERS meliput AIDS, Pustaka Sinar Harapan dan The Ford Foundation, Jakarta, 2000; (2) Kapan Anda Harus Tes HIV?, LSM InfoKespro, Jakarta, 2002; (3) AIDS dan Kita, Mengasah Nurani, Menumbuhkan Empati, tim editor, BPK Gunung Mulia, Jakarta, 2014; (4) Menggugat Peran Media dalam Penanggulangan HIV/AIDS di Indonesia, YPTD, Jakarta, 2022.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H