Mohon tunggu...
Syaiful W. HARAHAP
Syaiful W. HARAHAP Mohon Tunggu... Blogger - Peminat masalah sosial kemasyarakatan dan pemerhati berita HIV/AIDS

Aktivis LSM (media watch), peminat masalah sosial kemasyarakatan, dan pemerhati (berita) HIV/AIDS

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Seks Bebas Hilangkan Beban Moral dan Dosa Sebagai Pelaku Perzinaan

29 November 2024   15:17 Diperbarui: 29 November 2024   15:17 106
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi (Sumber: academicedge.com)

Di Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) tidak ada entri seks bebas. Tapi, di Indonesia frasa ini jadi jargon yang tidak jelas juntrungnnya. Bahkan, Kementerian Kesehatan (Kemenkes) dan dinas-dinas kesehatan di provinsi, kabupaten dan kota mengumbar frasa seks bebas yang dikaitkan secara langsung dengan penularan HIV/AIDS.

Baca juga: Mengapa Sebaiknya Kemenkes Tidak Lagi Menggunakan "Seks Bebas" terkait Penularan HIV/AIDS (Kompasiana, 17 Mei 2022)

Tidak jelas siapa yang memulai memakai jargon 'seks bebas' di Indonesia sebagai padanan dari free sex.

Agaknya, free sex muncul di awal tahun 1960-an yang dikaitkan secara membabi-buta dengan kehidupan yang serba bebas pada kalangan hippies yang bermula di Amerika Serikat (AS). Hippie merupakan sebuah kultur yang melawan kemapanan dengan musik hard-rock dengan pemakaian Narkoba (narkotika dan bahan-bahan berbahaya).

Jika seks bebas merupakan terjemahan bebas dari free sex juga rancu karena dalam kamus-kamus Bahasa Inggris-Indonesia tidak ada entri free sex baik pada free (sex) maupun sex (free).

Dalam kosa kata Bahasa Inggris tidak dikenal terminologi free sex. Tidak ada entri free sex di kamus bahasa Inggris. Yang ada adalah free love yaitu hubungan seksual tanpa ikatan nikah (The Advanced Learner's Dictionary of Current English, Oxford University Press, London, 1963).

Tanpa kita sadari, ternyata pemakaian 'seks bebas' sebagai istilah justru meredam beban moral terkait dengan zina (hubungan seksual antara laki-laki dan perempuan di luar nikah). Di kawasan Pantura yang dulu dikenal ramai dengan Warem (warung remang-remang) yang menyediakan layanan seks dikenal pula istilah 'esek-esek' yang juga menghilangkan beban moral terkait dengan melacur (zina).

Baca juga: Praktek 'Esek-esek' di Jalur Pantura Kabupaten Cirebon (Kompasiana, 20 Juli 2011)

Celakanya, seks bebas jadi jargon yang tidak jelas juntrungannya karena menyesatkan. Rancu dan ngawur. Soalnya, 'seks bebas' hanya dikaitkan dengan zina, terutama pada kalangan remaja. Ini mengesankan bahwa zina di kalangan dewasa, termasuk yang terikat dalam pernikahan, tidak termasuk 'seks bebas'.

Dalam banyak berita di media massa dan media online/portal berita seks bebas selalu diumbar terutama dikaitkan dengan penularan HIV/AIDS. Celakanya, tidak ada penjelasan yang jelas tentang apa arti atau makna seks bebas.

Baca juga: Diskriminasi dan Eufemisme Terkait dengan Pelacuran Dorong Penyebaran HIV/AIDS di Indonesia (Kompasiana, 7 Januari 2019)

Pengaitan 'seks bebas' dengan penularan HIV juga mengaburkan cara-cara penularan HIV/AIDS yang faktual. Penularan HIV/AIDS melalui hubungan seksual penetrasi (oral, vaginal atau anal) bukan karena sifat hubungan seksual (zina dalam hal ini seks bebas), tapi karena kondisi saat terjadi hubungan seksual yaitu salah satu atau keduanya mengidap HIV/AIDS dan laki-laki tidak memakai kondom.

Baca juga: Kapan Penularan HIV/AIDS Bisa Terjadi pada Seks Bebas? (Kompasiana, 2 Mei 2024)

Kalau benar seks bebas (baca: zina) menyebabkan penularan HIV/AIDS tentulah semua pasangan suami-istri yang menikah karena hamil duluan sudah mengidap HIV/AIDS.

Faktanya: Tidak!

Maka, mengaitkan seks bebas dengan penularan HIV/AIDS adalah hoaks (informasi bohong) yang justru bisa dibawa ke ranah pidana karena merupakan perbuatan melawan hukum seperti diatur di UU ITE.

Di sisi lain istilah seks bebas justru dipakai banyak kalangan untuk menohok remaja yang justru menguntungkan kalangan dewasa karena dikesankan seks bebas (baca: zina) hanya dilakukan oleh remaja.

Di platform Kompasiana dengan kompasianer yang belia dan berpendidikan justru mengumbar artikel dengan tema seks bebas tapi hanya menyasar remaja.

Baca juga: Artikel di Kompasiana yang Kaitkan Seks Bebas Hanya dengan Remaja (Kompasiana, 20 November 2024)

Celakanya, di era media sosial ini tidak ada lagi kode etik sebagai self-cencorship sebagai 'rem' untuk menilai berita, reportase atau artikel yang akan dipublikasi atau ditayangkan di media online dan media sosial.

Baca juga: Remaja Selalu Jadi Korban Kalangan Dewasa Terkait dengan Perilaku Seksual (Kompasiana, 10 September 2010)

Sensor mandiri itu menyangkut dampak berita, reportase atau artikel jika dipublikasi atau ditayangkan untuk media online dan media sosial.

Selain itu ada pula pertimbangan field of experience dan frame of reference sasaran (pembaca), celakanya hal ini tidak berlaku di media online dan media sosial karena sasaran sudah tidak berbentuk. <>

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun