Sejak pemerintah Indonesia mengakui ada epidemi HIV/AIDS di Indonesia yang berpatokan pada kasus kematian seorang pria turis WN Belanda di RS Sanglah, Denpasar, Bali, pada tahun 1987 kasus HIV/AIDS terus terdeteksi di semua kalangan masyarakat baik laki-laki maupun perempuan serta rentang usia dari bayi sampai dewasa.
Baca juga: Menyoal Kapan Kasus HIV/AIDS Pertama Ada di Indonesia (Kompasiana, 3 Januari 2011)
Secara nasional jumlah kumulatif HIV/AIDS yang  dilaporkan dari tahun 1987 -- Desember 2023 sebanyak 729.219 yang terdiri atas 566.707 HIV dan 162.512 AIDS (Website HIV PIMS Indonesia).
Sementara itu untuk periode Januari -- Desember 2023 dilaporkan jumlah kumulatif kasus HIV/AIDS mencapai 74.420 yang terdiri atas 57.299 HIV dan 17.121 AIDS.
Hanya saja perlu diingat bahwa angka yang dilaporkan ini (74.420) tidak menggambarkan jumlah kasus yang sebenarnya di masyarakat karena epidemi HIV/AIDS erat kaitannya dengan fenomena gunung es.
Kasus HIV/AIDS yang dilaporkan atau terdeteksi digambarkan sebagai puncak gunung es yang muncul ke atas permukaan air laut, sedangkan kasus HIV/AIDS yang tidak terdeteksi di masyarakat digambarkan sebagai bongkahan gunung es di bawah permukaan air laut (Lihat Gambar).
Itu artinya warga pengidap HIV/AIDS tapi tidak terdeteksi jadi mata rantai penyebaran HIV/AIDS di masyarakat terutama melalui hubungan seksual di dalam dan di luar nikah dengan kondisi laki-laki tidak memakai kondom.
Hal itu bisa terjadi karena warga pengidap HIV/AIDS yang terdeteksi tidak otomatis menunjukkan gejala-gejala, tanda-tanda atau ciri-ciri yang khas AIDS pada fisik mereka sebelum masa AIDS (secara statistik antara 5-15 tahun jika tidak menjalani pengobatan dengan obat antiretroviral/ART). Selain itu tidak ada pula keluhan kesehatan yang khas karena infeksi HIV.
Dalam laporan di Website HIV PIMS Indonesia ada 10 provinsi dengan kasus HIV/AIDS terbanyak pada periode Januari-Desember 2023 (Lihat tabel).
Sedangkan kasus kumulatif di provinsi lain (lihat tabel) juga tidak bisa dianggap remeh karena fenomena gunung es tadi.
Maka, pemerintah provisi melalui pemerintah kabupaten dan kota di 10 provinsi dengan jumlah kumulatif HIV/AIDS terbanyak sudah saatnya menjalankan program penanggulangan yang konkret, yaitu:
(a). Menurunkan insiden infeksi HIV baru di hulu yaitu melalui hubungan seksual laki-laki dewasa dengan pekerja seks langsung (kasat mata) dan pekerja seks tidak langsung (tidak kasat mata).
Dua tipe pekerja seks:
(1). PSK langsung adalah PSK yang kasat mata yaitu PSK yang ada di lokasi atau lokalisasi pelacuran atau di jalanan. Tapi, sejak reformasi ada gerakan moral menutup semua lokalisasi pelacuran di Indonesia sehingga lokaliasi pelacuran pun sekarang pindah ke media sosial. Transaksi seks pun dilakukan melalui ponsel, sedangkan eksekuasinya dilakukan sembarang waktu dan di sembarang tempat. PSK langsung pun akhirnya 'ganti baju' jadi PSK tidak langsung.
(2). PSK tidak langsung adalah PSK yang tidak kasat mata yaitu PSK yang menyaru sebagai cewek pemijat, cewek kafe, cewek pub, cewek disko, pemandu lagu, anak sekolah, ayam kampus, cewek gratifikasi seks (sebagai imbalan untuk rekan bisnis atau pemegang kekuasaan), PSK high class, dan cewek PSK online. Transaksi seks terjadi melalui berbagai cara, antara lain melalui ponsel.
Agaknya, di Indonesia dibangun pola pikir yang justru mengarah ke rasa aman semu yaitu mengaitkan penularan HIV/AIDS dengan lokalisasi pelacuran sehingga ketika lokaliasi pelacuran ditutup total sejak reformasi 1998 dikesankan penularan HIV/AIDS tidak ada lagi.
Padahal, lokalisasi tidak ada secara de jure, tapi secara de facto praktek pelacuran terjadi melalui transaksi daring (dalam jaringan) dengan eksekusi di sembarang waktu dan sembarang tempat.
(b) Menemukan warga pengidap HIV/AIDS yang belum terdeteksi dengan cara-cara yang tidak melawan hukum dan tidak pula melanggar hak asasi manusia (HAM).
Baca juga: Menurunkan Jumlah Kasus Infeksi HIV Baru Jadi PeeR Menteri Kesehatan di Kabinet Merah Putih (Kompasiana, 25 November 2024)
Jumlah warga pengidap HIV/AIDS yang ditemukan merupakan jumlah mata rantai penyebaran HIV/AIDS yang dihentikan di masyarakat karena mereka tidak lagi menularkan HIV/AIDS ke orang lain.
Sejatinya, salah satu aspek dalam tes HIV adalah mengajak warga yang akan menjalani tes HIV untuk menghentikan penyebaran HIV/AIDS mulai dari dirinya jika hasil tes HIV positif. Selain itu dengan mengikuti program ART juga akan menurunkan risiko menularkan HIV/AIDS.
Celakanya, di banyak daerah penanggulangan HIV/AIDS hanya dilakukan di hilir yaitu dengan tes HIV terhadap populasi kunci, seperti pekerja seks, LSL (lelaki suka seks lelaki), pasangan pekerja seks, waria dan penyalahguna Narkoba (nartoktika dan bahan-bahan berbahaya) dengan jarum suntik secara bergantian (lihat matriks)
Yang diperlukan adalah penanggulangan di hulu yaitu menurunkan, sekali lagi hanya bisa menurunkan, insiden infeksi HIV baru pada laki-laki dewasa melalui hubungan seksual dengan pekerja seks melalui penjangkauan (lihat matriks).
Tapi, karena sekarang transaksi seks yang melibatkan pekerja seks sudah pindah ke media sosial, maka semakin jauh dari jangkauan.
Untuk itulah diperlukan materi yaitu informasi tentang cara-cara penularan dan pencegahan HIV/AIDS yang realistis bukan informasi dengan bumbu moral dan agama yang justru menyuburkan mitos (anggapan yang salah tentang HIV/AIDS).
Misalnya, mengait-ngaitkan 'seks bebas' (istilah rancu yang tidak jelas maknanya) dengan penularan HIV/AIDS. Kalau 'seks bebas' diartikan sebagai hubungan seksual di luar nikah (zina), maka informasi itu bohong (hoaks).
Soalnya, penularan HIV/AIDS melalui hubungan seksual bukan karena sifat hubunga seksual (seks bebas), tapi karena kondisi saat terjai hubungan seksual yaitu salah satu atau kedua pasangan tersebut mengidap HIV/AIDS dan laki-laki tidak memakai kondom. Ini fakta!
Selama pemerintah masih membalut dan membumbui informasi HIV/AIDS dengan norma, moral dan agama, maka selama itu pula cara-cara penularan dan pencegahan HIV/AIDS hanya mitos belaka yang pada akhirnya menjerumuskan warga ke lembah risiko tertular HIV/AIDS. <>
* Syaiful W Harahap adalah penulis buku: (1) PERS meliput AIDS, Pustaka Sinar Harapan dan The Ford Foundation, Jakarta, 2000; (2) Kapan Anda Harus Tes HIV?, LSM InfoKespro, Jakarta, 2002; (3) AIDS dan Kita, Mengasah Nurani, Menumbuhkan Empati, tim editor, BPK Gunung Mulia, Jakarta, 2014; (4) Menggugat Peran Media dalam Penanggulangan HIV/AIDS di Indonesia, YPTD, Jakarta, 2022.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H