"Miris 1.636 Kasus HIV/AIDS di Sulsel Didominasi Perilaku Seks Sesama Pria" Ini judul berita di detik.com (21/11/2024).
Judul inilah yang terjadi kalau wartawan membalut berita dengan moral, padahal yang jauh lebih miris justru kasus HIV/AIDS bayi karena dengan 1 bayi terdeteksi HIV/AIDS sudah ada 3 kasus HIV/AIDS yaitu: bayi, ibu yang melahirkan si bayi dan suami yg menularkan HIV/AIDS kepada si ibu yg melahirkan bayi dng HIV/AIDS.
Dilaporkan sepanjang tahun 2024 terdeteksi 1.636 kasus HIV/AIDS. Sayang, tidak ada rincian jumlah kasus HIV-positif dan AIDS serta tidak ada jumlah kasus pada ibu rumah tangga dan bayi. Laporan "Website HIV PIMS Indonesia" menunjukkan sampai 31 Maret 2024 jumlah kumulatif kasus HIV/AIDS di Sulsel mencapai 19.342 yang terdiri atas 14.679 HIV dan 4.663 AIDS.
Namun, perlu diingat bahwa jumlah kasus yang dilaporkan tidak menggambarkan kasus AIDS yang sebenarnya di masyarakat karena epidemi HIV/AIDS erat kaitannya dengan fenomena gunung es.
Kasus HIV/AIDS yang dilaporkan atau terdeteksi digambarkan sebagai puncak gunung es yang muncul ke atas permukaan air laut, sedangkan kasus HIV/AIDS yang tidak terdeteksi di masyarakat digambarkan sebagai bongkahan gunung es di bawah permukaan air laut (Lihat Gambar).
Pemakain kata 'dominasi' juga salah kaprah karena mustahil pelaku perilaku seks sesama pria menguasasi penyebaran HIV/AIDS dengan melarang kalangan heteroseksual melakukan perilaku seksual berisiko tertular HIV/AIDS. Dalam KBBI disebutkan dominasi adalah penguasaan oleh pihak yang lebih kuat terhadap yang lebih lemah (dalam bidang politik, militer, ekonomi, perdagangan, olahraga, dan sebagainya).
Lagi pula secara empiri kasus HIV/AIDS pada 'perilaku seks sesama pria' ada di terminal akhir karena mereka tidak mempunyai pasangan tetap, dalam hal ini istri (lihat matriks).
Bandingkan dengan pria heteroseksual jika mengidap HIV/AIDS. Ada risiko mereka menularkan HIV/AIDS kepada istrinya atau pasangan seks lain (horizontal), seperti selingkuhan dan pekerja seks. Bahkan, ada pria yang mempunyai istri lebih dari satu.
Jika istrinya tertular HIV/AIDS, maka ada risiko penularan vertikal kepada bayi yang dikandungnya, terutama saat persalinan dan menyusui dengan air susu ibu (ASI).
Dalam berita Kepala Dinas Kesehatan Sulsel, M. Ishaq Iskandar, mengatakan sebanyak 40 hingga 45 persen kasus HIV/AIDS akibat perilaku lelaki seks lelaki (LSL). Sementara wanita tuna susila (WTS) hanya sekitar 39 persen.
Dengan persentase 40-45 persen kasus HIV/AIDS pada LSL (lelaki suka seks lelaki) merupakan kabar baik karena risiko penyebaran HIV/AIDS rendah. Tapi, kasus pada wanita tuna susila (WTS), istilah ini sudah tidak dianjurkan dan diganti dengan pekerja seks atau pekerja seks komersial, yang mencapai 39 persen merupakan 'lampu merah' bagi Sulsel karena ada 638 PSK pengidap HIV/AIDS.
Berbagai studi menunjukkan rata-rata seorang PSK setiap malam melayani 3-5 laki-laki. Maka, dalam satu malam saja ada 1.914 -- 3.190 laki-laki di Sulsel yang berisiko tertular HIV/AIDS jika mereka tidak memakai kondom ketika melakukan hubungan seksual dengan PSK.
Sayang, Dinkes Sulsel dan wartawan yang menulis berita ini tidak membawa data ini ke realitas sosial. Selain itu dalam berita juga tidak ada informasi tentang jumlah pria heteroseksual, istri dan bayi yang mengidap HIV/AIDS.
Mendeteksi kasus HIV/AIDS pada populasi kunci adalah langkah di hilir yaitu pada warga yang sudah tertular HIV/AIDS. Bisa jadi sebelum mereka terdeteksi ada yang sudah menularkan HIV/AIDS ke orang lain, terutama melalui hubungan seksual tanpa kondom di dalam dan di luar nikah.
Yang diperlukan adalah langkah di hulu yaitu menurunkan insiden infeksi HIV pada laki-laki dewasa melalui hubungan seksual dengan PSK.
Celakanya, sekarang praktek PSK ada dalam jaringan (daring) melalui Ponsel sehingga tidak bisa dijangkau. Itu artinya insiden infeksi HIV baru akan terus terjadi, sementara itu warga yang mengidap HIV/AIDS tapi tidak terdeteksi jadi mata rantai penyebaran HIV/AIDS di masyarakat, terutama melalui hubungan seksual tanpa kondom di dalam dan di luar nikah.
Baca juga: Menunggu Inovasi dan Gagasan Penanggulangan HIV/AIDS di Sulawesi Selatan (Kompasiana, 23 Juli 2022)
Penularan terjadi tanpa disadari karena warga, terutama laki-laki, pengidap HIV/AIDS tidak menyadari dirinya sudah tertular HIV/AIDS karena tidak ada tanda-tanda, gejala-gejala atau ciri-ciri yang khas HIV/AIDS pada fisik mereka sebelum masa AIDS (secara statistik antara 5-15 tahun setelah tertular HIV jika tidak menjalani pengobatan dengan obat antiretroviral/ART). Selain itu tidak ada pula keluhan kesehatan yang khas HIV/AIDS.
Penyebaran terjadi ibarat silent disaster (bencana terselubung) ibarat 'bom waktu' yang kelak bermuara jadi 'ledakan AIDS.' <>
* Syaiful W Harahap adalah penulis buku: (1) PERS meliput AIDS, Pustaka Sinar Harapan dan The Ford Foundation, Jakarta, 2000; (2) Kapan Anda Harus Tes HIV?, LSM InfoKespro, Jakarta, 2002; (3) AIDS dan Kita, Mengasah Nurani, Menumbuhkan Empati, tim editor, BPK Gunung Mulia, Jakarta, 2014; (4) Menggugat Peran Media dalam Penanggulangan HIV/AIDS di Indonesia, YPTD, Jakarta, 2022.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI