"Dinkes Pidie: Perilaku Heteroseksual Jadi Faktor Utama Penularan HIV/AIDS di Pidie." Ini judul berita di sinarpidie.co, 9/11/2024.
Astaga, jadi harus apa orientasi seksual supaya tidak jadi faktor utama penularan HIV/AIDS?
Judul berita di atas misleading (menyesatkan), karena:
Pertama, heteroseksual adalah orientasi seksual yaitu ketetarikan secara seksual terhadap lawan jenis,
Kedua, heteroseksual bukan perilaku,
Ketiga, risiko penularan HIV/AIDS melalui hubungan seksual bukan karena orientasi seksual, tapi kondisi saat terjadi hubungan seksual penetrasi (oral, vaginal dan anal) di dalam dan di luar nikah.
Keempat, heteroseksual sebaga orientasi sesual bukan faktor utama penyebaran HIV/AIDS, dan
Kelima, heteroseksual bukan perilaku seksual yang berisiko tertular HIV/AIDS.
Risiko tertular dan menularkan HIV/AIDS melalui hubungan seksual penetrasi (oral, vaginal atau anal), di dalam dan di luar nikah, jika salah satu atau keduanya mengidap HIV/AIDS dan laki-laki tidak memakai kondom. Ini fakta!
Risiko tertular HIV/AIDS terjadi karena perilaku seksual berisiko, yaitu pernah atau sering melakukan hubungan seksual (penetrasi) tanpa kondom di dalan dan di luar nikah dengan pasangan yang berganti-ganti yang tidak diketahui status HIV-nya atau dengan seseorang yang sering ganti-ganti pasangan, seperti pekerja seks yang tidak diketahui status HIV-nya.
Dalam berita dr Dwi (Pelaksana Tugas (Plt) Kepala Dinas Kesehatan Pidie, dr Dwi Wijaya-Pen.) mengatakan jumlah akumulasi kasus HIV di Pidie, sejak kasus tersebut pertama kali ditemukan pada 2006 silam hingga Oktober 2024, adalah 103 kasus, di mana 69 di antaranya sudah memasuki tahap infeksi akhir atau AIDS.
Yang perlu diingat adalah jumlah kasus yang terdeteksi atau dilaporkan, dalam hal ini 103, tidak menggambarkan jumlah kasus yang sebenarnya masyarakat. Hal ini terjadi karena epidemi HIV/AIDS erat kaitannya dengan fenomena gunung es.
Kasus HIV/AIDS yang dilaporkan atau terdeteksi digambarkan sebagai puncak gunung es yang muncul ke atas permukaan air laut, sedangkan kasus HIV/AIDS yang tidak terdeteksi di masyarakat digambarkan sebagai bongkahan gunung es di bawah permukaan air laut (Lihat Gambar).
Maka, warga Pidie yang mengidap HIV/AIDS tapi tidak terdeteksi, terutama laki-laki dewasa dan pekerja seks, jadi mata rantai penyebaran HIV/AIDS, terutama melalui hubungan seksual, di dalam dan di luar nikah, tanpa memakai kondom.
Yang perlu diingat PSK ada dua tipe, yaitu:
(1). PSK langsung adalah PSK yang kasat mata yaitu PSK yang ada di lokasi atau lokalisasi pelacuran atau di jalanan. Tapi, sejak reformasi ada gerakan moral menutup semua lokalisasi pelacuran di Indonesia sehingga lokaliasi pelacuran pun sekarang pindah ke media sosial. Transaksi seks pun dilakukan melalui ponsel, sedangkan eksekuasinya dilakukan sembarang waktu dan di sembarang tempat. PSK langsung pun akhirnya 'ganti baju' jadi PSK tidak langsung.
(2). PSK tidak langsung adalah PSK yang tidak kasat mata yaitu PSK yang menyaru sebagai cewek pemijat, cewek kafe, cewek pub, cewek disko, pemandu lagu, anak sekolah, ayam kampus, cewek gratifikasi seks (sebagai imbalan untuk rekan bisnis atau pemegang kekuasaan), PSK high class, dan cewek PSK online. Transaksi seks terjadi melalui berbagai cara, antara lain melalui ponsel.
Penularan HIV/AIDS terjadi tanpa mereka sadari karena warga yang mengidap HIV/AIDS tidak otomatis mengalami gejala-gejala, tanda-tanda atau ciri-ciri khas terkait dengan infeksi HIV. Selain itu tidak pula ada keluhan kesehatan yang terkait langsung dengan HIV/AIDS.
Maka, jika Pemkab Pidie tidak mempunyai program untuk mendeteksi warga pengidap HIV/AIDS tanpa melawan hukum dan tidak melanggar hak asasi manusia (HAM), maka penyebaran HIV/AIDS di wilayah Pidie akan terus terjadi.
Salah satu indikator yang bisa jadi petunjuk adalah kasus HIV/AIDS pada bayi dan ibu rumah tangga (IRT). Sayang, dalam berita tidak ada data tentang jumlah bayi yang lahir dengan HIV/AIDS dan jumlah IRT yang tedeteksi mengidap HIV/AIDS.
Disebutkan dalam berita: "45 orang dengan HIV/AIDS atau ODHA telah meninggal dunia ...." Kalau saja narasumber dan wartawan membawa data ini ke realitas sosial, maka akan ada gambaran tentang penyebaran HIV/AIDS di Pidie, yaitu:
Sebelum meninggal ada di antara 45 Odha itu yang sudah menularkan HIV/AIDS ke orang lain,
Jika ada di antara 45 Odha itu suami, maka mereka menularkan HIV/AIDS secara horizontal ke istrinya, bahkan ada laki-laki yang mempunyai istri lebih dari satu,
Jika istri tertular HIV/AIDS, maka ada pula risiko penularan vertikal dari-ibu-ke-bayi yang dikandungnya, terutama saat melahirkan dan menyusui dengan air susu ibu (ASI),
Jika ada di antara 45 Odha itu merupakan pekerja seks langsung atau tidak langsung, maka mereka menularkan HIV/AIDS ke laki-laki yang melakukan hubungan seksual dengan PSK itu tanpa kondom.
Beberapa studi menunjukkan rata-rata seorang PSK melayani laki-laki antara 3-5 setiap malam. Maka, sebelum menggilan seorang PSK pengidap HIV/AIDS yang meninggal sudah melayani hubungan seksual yang berisiko dengan 4.500 -- 22.500 laki-laki [1 PSK x (3-5) per malam x 25 hari sebulan x (5-15) tahun]. Kematian Odha secaa statistik terjadi pada masa AIDS dengan rentang waktu antara 5-15 tahun setelah tertular HIV.
Itu artinya penyebaran HIV/AIDS di Pidie tinggi, ditambah dengan jumlah warga Pidie, terutama laki-laki dewasa, yang melakukan perilaku seksual bersiko tertular HIV/AIDS di luar Pidie atau di luar negeri.
Sosialisasi HIV/AIDS sudah dilakukan sejak awal epidemi yang diakui di Indonesia yaitu pada tahun 1987, tapi hasilnya nol besar karena materi komunikasi, informasi dan edukasi (KIE) tentang HIV/AIDS selalu dibalut dan dibumbui dengan norma, moral dan agama sehingga menenggelamkan fakta medis tentang HIV/AIDS. Yang sampai ke masyarakat hanya mitos (anggapan yang salah) tentang HIV/AIDS, seperti informasi di judul berita ini.
Yang diperlukan adalah langkah konkret di hulu yaitu menurunkan, sekali lagi hanya bisa menurunkan, insiden infeksi HIV baru pada laki-laki dewasa melalui hubungan seksual tanpa kondom dengan PSK langsung dan PSK tidak langsung. <>
* Syaiful W Harahap adalah penulis buku: (1) PERS meliput AIDS, Pustaka Sinar Harapan dan The Ford Foundation, Jakarta, 2000; (2) Kapan Anda Harus Tes HIV?, LSM InfoKespro, Jakarta, 2002; (3) AIDS dan Kita, Mengasah Nurani, Menumbuhkan Empati, tim editor, BPK Gunung Mulia, Jakarta, 2014; (4) Menggugat Peran Media dalam Penanggulangan HIV/AIDS di Indonesia, YPTD, Jakarta, 2022.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI