Mohon tunggu...
Syaiful W. HARAHAP
Syaiful W. HARAHAP Mohon Tunggu... Blogger - Peminat masalah sosial kemasyarakatan dan pemerhati berita HIV/AIDS

Aktivis LSM (media watch), peminat masalah sosial kemasyarakatan, dan pemerhati (berita) HIV/AIDS

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Pilihan

Makan Bergizi Gratis vs. Memenuhi Hak Anak Peroleh Pendidikan Dasar yang Gratis

17 November 2024   11:26 Diperbarui: 17 November 2024   11:42 71
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Uji coba makan bergizi gratis di SDN Tugu, Kec Jebres, Kota Solo, Jateng, (25/7/2024) (KOMPAS.COM/Fristin Intan Sulistyowati) 

Secara universal jika seorang anak lahir, maka berhak atas:

  • Identitas (akte lahir dan KTP setelah dewasa, maka KTP bukan kewajiban seperti yang disebut-sebut di banyak daerah, tapi hak)
  • Imunisasi dasar yaitu penyakit-penyakit yang bisa dicegah dengan imunisasi/PD3I (polio, campak rubela, tetanus neonatarum, pertusis, difteri, hepatitis B dan kanker serviks)
  • Pendidikan dasar (SD dan SMP sederajat) yang diamanatkan dalam UUD 1945

Amanat UUD 1945 tentang hak belajar bagi anak-anak usia SD dan SMP ternyata sampai pemerintah Presiden Joko Widodo (Jokowi) selesai (2024) diabaikan. Itu sama saja dengan mengangkangi UUD 1945 dan merampas hak anak-anak yang tidak dibiayai untuk menikmati pendidikan dasar yang gratis.

Maka, mengabaikan pendidikan dasar yang gratis sesuai amanat UUD 1945 merupakan perbuatan yang melawan hukum dan pelanggaran terhadap hak asasi manusia (HAM).

Maka, adalah kewajiban mutlak bagi pemerintahan Presiden Prabowo Subianto/Wapres Gibran Rakabuming Raka melalui 'Kabinet Merah Putih' untuk memenuhi hak belajar anak-anak negeri usia SD sampai SMP sederajat (madrasah dan tsanawiyah).

Dalam UUD '45 di pasal 31 ayat 1 dan 2 disebutkan:

(1) Setiap warga negara berhak mendapat pendidikan.

(2) Setiap warga negara wajib mengikuti pendidikan dasar dan pemerintah wajib membiayainya.

Sejatinya bunyi pasal 2 yaitu pendidikan dasar hak dan negara, dalam hal ini pemerintah, wajib membiayainya. Jadi, bukan wajib mengikuti pendidikan dasar, tapi mempunyai hak untuk mengenyam pendidikan dasar yang dibiayai pemerintah alias gratis.

Sekarang yang dibiayai pemerintah hanya warga negara usia pendidikan dasar yang bejalar di SD dan SMP sederajat negeri, sedangkan yang belajar di swasta jadi beban orang tua yang secara empiris justru lebih banyak dari kalangan menengah ke bawah. Ini ironis karena kalangan menengah ke atas yang notabene mampu membiayai pendidikan justru sekolah di sekolah-sekolah negeri yang gratis.

Data menunjukkan pada semester 2023/2024 ganjil ada 24.035.934 murid SD dan murid SMP 9.970.737 (dataindonesia.id).

Jumlah murid yang belajar di SD swasta mencapai 3.710.333, sedangkan yang belajar di SMP swasta 2.726.116 (bps.go.id). Itu artinya ada 6.436.449 warga negara yang merupakan siswa tingkat SD dan SMP yang diabaikan atau ditelantarkan negara (baca: pemerintah).

Sementara itu jumlah warga yang tidak bersekolah, seperti diungkapkan Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia (JPPI) anak tidak sekolah (ATS) di Indonesia  sebanyak 3.094.063 (beritasatu.com). Selain itu terjadi juga putus sekolah (drop out) di tingkat SD dan SMP atau sederajat. Bisa jadi salah satu penyebabnya adalah biaya, terutama di kalangan keluarga miskin, karena biaya pendudukan dasar di swasta besar.

Masuk pendidikan dasar swasta ada biaya-biaya: pendaftaran, uang pangkal, seragam dan uang sekolah bulanan. Jumlahnya bervariasi, tapi mencapai jutaan rupiah.

Celakanya, pemerintahan Presiden Jokowi dengan bangga mengatakan Indonesia sebagai negara berpenghasilan menengah ke atas.

Tapi, apakah kondisi itu menyentuh warga negara dengan kategori miskin?

Jumlah penduduk miskin pada Maret 2024 sebesar 25,22 juta. Pada Maret 2024, rata-rata rumah tangga miskin di Indonesia memiliki 4,78 anggota rumah tangga (bps.go.id). Ini bisa jadi ada anggota rumah tangga yang usia SD dan SMP.

'Kabinet Merah Putih' yang dikomandoi Presiden Prabowo sejak kampanye pemilihan presiden (Pilpres) sudah mendengung-dengungkan program makan siang gratis, belakangan disebut 'Makan Bergizi Gratis' untuk murid di Indonesia.

Tanpa mengabaikan niat baik Kabinet Merah Putih, alangkah arif dan bijaksana kalau program 'Makan Bergizi Gratis' dikaitkan dengan kelalaian pemerintah selama ini tidak membayar uang sekolah warga negara usia pendidikan dasar yaitu SD dan SMP sederajat yang belajar di sekolah swasta.

Anggaran untuk 'Makan Bergizi Gratis' seperti dilaporkan kompas.com (17/9/2024): Kepala Badan Gizi Nasional, Dadan Hindayana, ungkap anggaran makan bergizi gratis yang dikelola oleh lembaganya tetap Rp 71 triliun.

Program 'Makan Bergizi Gratis' tidak diatur di UUD '45 sedangkan kewajiban negara membiayai pendidikan dasar warga negara eksplisit (tersurat)  diatur di UUD '45. <>

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun