Mohon tunggu...
Syaiful W. HARAHAP
Syaiful W. HARAHAP Mohon Tunggu... Blogger - Peminat masalah sosial kemasyarakatan dan pemerhati berita HIV/AIDS

Aktivis LSM (media watch), peminat masalah sosial kemasyarakatan, dan pemerhati (berita) HIV/AIDS

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Pilihan

Kasus HIV/AIDS pada Remaja dan Usia Produktif Dijadikan Berita yang Sensasional dan Bombastis

16 Oktober 2024   09:48 Diperbarui: 16 Oktober 2024   10:29 123
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Secara empiris kasus HIV/AIDS pada remaja dan usia produktif merupakan realitas sosial di social settings karena pada rentang usia tersebut libido atau hasrat seks sangat tinggi yang tidak bisa digantikan penyalurannya dengan cara-cara lain selain melalui hubungan seksual penetrasi (oral, vaginal atau anal).

Celakanya, mereka tidak memperoleh informasi yang akurat dengan berpijak pada fakta medis tentang cara-cara penularan dan pencegahan HIV/AIDS melalui hubungan seksual sehingga mereka melakukan perilaku seksual yang berisiko tinggi tertular HIV/AIDS.

Maka, yang jadi persoalan besar adalah:

  • Mengapa hal itu terjadi (why)
  • Bagaimana hal itu terjadi (how)

Ini sesuai dengan asas murni jurnalistik seperti sering disampaikan Bang Hadi (Ashadi Siregar dulu dosen di UGM, novelis dan Direktur LP3Y Yogyakarta) berita yang mempunyai nilai (value) adalah yang mengedepankan aspek why dan how dalam kaidah 5W+1H (kelengkapan berita).

Sedangkan dari aspek unsur layak berita, sebuah berita mempunyak nilai jika mengadung satu atau lebih unsur layak berita, yaitu:

Unsur-unsur layak berita adalah (Bagaimana Menjadi Penulis Media Massa, Ashadi Siregar, dkk, PT Karya Unipress, Jakarta, 1982):

1. Significance, peristiwa atau kejadian yang terkait langsung dengan harkat kehidupan orang banyak

 2. Magnitude, peristiwa atau kejadian yang terkait dengan jumlah atau angka

 3. Timeliness, peristiwa atau kejadian yang terkait dengan aktualitas, baru terjadi, baru ditemukan

 4. Proximity, peristiwa atau kejadian yang terkait dengan kedekatan secara geografis atau psikologis

 5. Prominence, peristiwa atau kejadian yang terkait dengan ketenaran

 6. Human interest, peristiwa atau kejadian yang terkait dengan kemanusiaa

Kalau hanya menjadikan informasi tentang kasus HIV/AIDS pada remaja dan usia produktif sebagai berita yang sensasional (KBBI: bersifat menggemparkan) dan bombastis (KBBI: bersifat omong kosong) tentulah tidak mencapai sasaran sebagai agent of change (agen perubahan) karena tidak ada pendalaman yang objetik dengan liputan yang komphrensif tentang mengapa dan bagaimana hal itu terjadi.

Dari beberapa judul berita ini bisa dilihat sensasionalitas dan bombastis yang tidak bermakna:

  • Pengidap HIV di Karawang Meningkat Signifikan, Merambah ke Kalangan Remaja (wartakota.tribunnews.com, 14/10/2024)
  • Gawat! Kasus HIV AIDS di Karawang Terus Meningkat, Mulai Hantui Kaum Remaja (rctiplus.com, 11/10/2024)
  • Kasus HIV/AIDS di Cimahi Mayoritas Kelompok Usia Produktif (rri.co.id, 13/10/2024)
  • Kasus HIV/AIDS di Cimahi Mayoritas Kelompok Usia Produktif
  • HIV/AIDS Menggerogoti Remaja di NTT (Kompas.id, 14/11/2023)

Entah apa yang ada dipikiran narasumber serta wartawan dan redaktur yang menayangkan berita ini. Kalau saja narasumber, wartawan dan redaktur mengacu ke how dan why, maka judul itu tidak akan muncul dan berita bersifat komprehensif yang mempunyai nilai sebagai agent of change sehingga memberikan pemahaman yang akurat terhadap remaja dan usia produktif tentang cara-cara penularan dan pencegahan HIV/AIDS yang bertumpu pada fakta medis.

Baca juga: Ratusan Mahasiswa Bandung yang Tertular HIV/AIDS karena Terperangkap Mitos (Kompasiana, 27/8/2022)

Kalau saja narasumber, wartawan dan redaktur mencermati materi komunikasi, informasi dan edukasi (KIE) tentang HIV/AIDS tentulah akan muncul berita yang mencerdaskan. Soalnya, selama ini materi KIR tentang HIV selalu dibalut dan dibumbui dengan norma, moral dan agama sehingga menenggelamkan fakta medis tentang HIV/AIDS, selanjutnya menyuburkan mitos (anggapan yang salah) tentang HIV/AIDS.

Misalnya, mengait-ngaitkan seks pranikah, zina, 'seks bebas,' homoseksual, perselingkuhan dan pelacuran dengan penularan HIV/AIDS.

Matriks: Sifat dan kondisi hubungan seksual terkait dengan risiko penularan HIV/AIDS. (Sumber: Dok Pribadi/Syaiful W. Harahap/AIDS Watch Indonesia)
Matriks: Sifat dan kondisi hubungan seksual terkait dengan risiko penularan HIV/AIDS. (Sumber: Dok Pribadi/Syaiful W. Harahap/AIDS Watch Indonesia)

Padahal, secara faktual penularan HIV/AIDS melalui hubungan seksual bukan karena sifat hubungan seksual (seks pranikah, zina, 'seks bebas,' homoseksual, perselingkuhan dan pelacuran), tapi karena kondisi saat terjadi hubungan seksual yaitu salah atau kedunya mengidap HIV/AIDS dan laki-laki tidak memakai kondom. Ini fakta!

Baca juga: "ABAT" (Aku Bangga Aku Tahu) Tidak Memberikan Cara Pencegahan HIV/AIDS yang Eksplisit (Kompasiana, 4/7/2013)

Itu artinya KIE tentang HIV/AIDS justru membawa banyak orang, terutama remaja dan usia produktif, ke jurang nista yaitu melakukan perilaku seksual yang berisiko tinggi tertular HIV/AIDS.

Sejatinya yang jadi persoalan besar pada epidemi HIV/AIDS adalah kasus pada ibu rumah tangga karena ini menunjukkan sudami mereka pengidap HIV/AIDS yang potensial menyebarkan HIV/AIDS di masyarakat, turutama melalui hubungan seksual tanpa kondom di dalam dan di luar nikah. Tidak sedikit laki-laki yang mempunyai istri lebih dari satu, juga punya pasangan seks lain, seperti pekerja seks komersial (PKS).

Ibu-ibu rumah tangga yang tertular HIV/AIDS dari suami dalam ikatan pernikahan yang sah berisiko menularkan HIV/AIDS ke bayi yang dikandungnya terutama saat persalinan dan menyusui dengan air susu ibu (ASI).

Baca juga: AIDS pada Usia Produktif di Yogyakarta bukan Ironis tapi Realistis (Kompasiana, 7/9/20218)

Tapi, banyak kalangan, seperti pemerintah pusat, pemerintah provinsi, kabupaten dan kota, terutama melalui instansi terkait lebih mementingkan berita yang sensasional dan bombastis daripada berita yang bisa jadi agent of change dengan mengutamakan why dan how.

Selain itu HIV/AIDS pada remaja dan usia produktif secara empiris ada di terminal terakhir karena mereka tidak mempunyai pasangan tetang (baca: istri). Bandingkan dengan suami yang justru bisa jadi mata rantai penyebaran HIV/AIDS di masyarakat.

Matriks: Risiko penyebaran HIV/AIDS pada remaja dan laki-laki beristri. (Foto: Dok Pribadi/Syaiful W. Harahap)
Matriks: Risiko penyebaran HIV/AIDS pada remaja dan laki-laki beristri. (Foto: Dok Pribadi/Syaiful W. Harahap)

Agaknya, kalangan suami (baca: dewasa) memilih  menyerang remaja dan usia produktif untuk menutupi kebobrokan moral mereka dengan indikator kasus HIV/AIDS pada istri (ibu rumah tangga).

Data yang dilansir Website HIV PIMS Indonesia menunjukkan dari tahun 1987 sampai 31 Maret 2023 jumlah ibu rumah tangga dengan kasus AIDS (20.783( menempati peringkata ke-3 secara nasional di belakang karyawan (25.119) dan tidak diketahui (38.796). <>

* Syaiful W Harahap adalah penulis buku: (1) PERS meliput AIDS, Pustaka Sinar Harapan dan The Ford Foundation, Jakarta, 2000; (2) Kapan Anda Harus Tes HIV?, LSM InfoKespro, Jakarta, 2002; (3) AIDS dan Kita, Mengasah Nurani, Menumbuhkan Empati, tim editor, BPK Gunung Mulia, Jakarta, 2014; (4) Menggugat Peran Media dalam Penanggulangan HIV/AIDS di Indonesia, YPTD, Jakarta, 2022.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun