Salah satu ciri masyarakat modern adalah mengandalkan angkutan (transportasi) umum di perkotaan, dalam hal angkutan massal cepat (rapid mass transport), seperti kereta rel listrik (KRL) di permukaan tanah, MRT (mass rapid transit) atau subway di bawah permukaan tanah dan LRT (light rail transit) layang.
Tiga moda angkutan massal ini bebas dari kemacetan sehingga bisa tepat waktu dalam perjalanan dari satu titik ke titik lain. Ini jadi andalan angkutan di kota-kota besar di dunia untuk memberikan opsi (pilihan) bagi warga sehingga tidak perlu ribut soal (mengatasi) kemacetan.
Celakanya, di Indonesia yang diributkan adalah mengatasi kemacetan yang tidak berkesudahan ibarat 'seminar tikus' dan 'debat kusir.'
Stasiun-stasiun TV jadikan isu kemacetan untuk materi talkshow dengan menghadirkan pakar-pakar terkait, tapi hanya sebatas pembahasan di awang-awang karena secara nyata mustahil mencegah kemacetan di perkotaan.
Tidak ada kota besar di dunia yang bebas dari kemacetan di jalan raya, sehingga banyak negara yang memilih langkah yang realistis yaitu menyediakan angkutan massal yang bebas dari kemacetan sebagai opsi.
Maka, operasinal KRL, MRT dan LRT merupakan jawaban yang realistis untuk angkutan massal di perkotaan. Di Indonesia angkutan massal baru beroperasi secara penuh di Jabodetabek (Jakarta-Bogor-Depok-Tangerang-Bekasi-Cikarang) dan Jakarta-Rangkasbitung-Merak serta Yogyakarta-Solo.
Kehadiran KRL, MRT dan LRT sangat membantu banyak warga yang selalu bepergian setiap hari untuk berbagai keperluan, mulai dari pelajar, mahasiswa, guru, dosen, pegawai dan karyawan.
Mereka merupakan kumuter atau penglaju yang setiap hari bepergian di pagi hari dari rumah ke sekolah, kampus, kantor, dan tempat-tempat kerja serta kembali pulang ke rumah di sore atau malam hari.
Angkutan massal ini jauh lebih efektif dan efisien dibandingkan dengan menggunakan sepeda motor, mobil atau angkutan perkotaan (Mikrolet dan bus kota) baik dari segi biaya, waktu dan keselamatan.