".... Data Dinas Kesehatan Jembrana menunjukkan penularan paling dominan terjadi melalui hubungan seks berisiko, terutama di kalangan pekerja tempat hiburan malam." Ini ada di lead berita "Pekerja Hiburan Malam Jadi Penyumbang Utama Kasus HIV/AIDS di Jembrana" (detik.com, 4/9/2024).
Pernyataan dalam lead ini tidak jelas karena ada kesan penularan terjadi justru antara sesama pekerja di tempat hiburan malam di Jembrana, Bali.
Kalau kasus-kasus penularan hanya terjadi di antara kalangan pekerja di tempat hiburan malam tentulah tidak jadi persoalan bagi masyarakat karena bisa jadi pekerja hiburan malam tersebut berasal dari luar Jembrana atau Bali.
Lagi pula bagaimana mungkin Dinas Kesehatan Jembrana bisa melakukan tes HIV terhadap warga, dalam hal ini laki-laki dewasa yang bisa saja penduduk setempat, wisatawan nusantara (Wisnus) atau wisatawan mancanegara (Wisman) yang sudah melakukan hubungan seksual berisiko dengan karyawan tempat hiburan malam.
Disebutkan oleh Kepala Bidang Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Menular (P2PM) Dinas Kesehatan Jembrana, I Gede Ambara Putra, temuan kasus baru ini didapat dari hasil pemeriksaan rutin di fasilitas kesehatan dan juga pemeriksaan langsung di lokasi yang dianggap berisiko tinggi.
Jika tes HIV dilakukan di fasilitas kesehatan, seperti Puskesmas atau rumah sakit, apakah harus menyebutkan tempat bekerja?
Baca juga: Menyibak Sepak Terjang Perda AIDS Kabupaten Jembrana, Bali (Kompasiana, 13 September 2010)
Frasa 'di lokasi yang dianggap berisiko tinggi' tidak akurat karena terkait dengan risiko penularan HIV/AIDS yang berisiko bukan tempat tapi perilaku seksual yaitu dilakukan dengan seseorang yang tidak diketahui status HIV-nya dan laki-laki tidak memakai kondom.
Yang jadi persoalan adalah siapa pengunjung yang melakukan hubungan seksual berisiko di tempat hiburan malam di Jembrana itu?
Kalau ada warga setempat, maka yang jadi persoalan adalah penyebaran HIV/AIDS di masyarakat melalui warga yang melakukan hubungan seksual berisiko di tempat hiburan malam. Maka, perlu ada mekanisme yang tidak melawan hukum dan tidak pula melanggar HAM untuk mendeteksi warga yang tetular HIV/AIDS di tempat hiburan malam.
Terkait dengan kasus HIV/AIDS pada karyawan tempat hiburan malam, bisa saja mereka tertular dari tamu yang bisa juga warga setempat, Wisnus atau Wisman. Soalnya, tidak ada tes HIV terhadap perempuan pekerja hiburan malam sebelum mereka bekerja.
Nah, kalau perempuan pekerja di tempat hiburan malam tertular HIV/AIDS dari warga setempat, itu artinya warga tersebut jadi mata rantai penyebaran HIV/AIDS di masyarakat, terutama melalui hubungan seksual tanpa kondom di dalam dan di luar nikah.
Disebutkan lagi: Dinas Kesehatan Jembrana akan meningkatkan upaya pencegahan dengan cara melakukan pemeriksaan rutin di tempat-tempat yang berisiko tinggi serta memberikan edukasi kepada masyarakat tentang bahaya HIV/AIDS dan pentingnya perilaku seks yang aman.
Pemeriksaan, dalam hal ini tes HIV, di tempat-tempat berisiko adalah langka di hilir. Artinya, jika ada yang terdeteksi HIV-positif maka sudah terjadi penularan. Bahkan, bisa jadi yang terdeteksi HIV-positif di tempat berisiko tinggi sudah menularn HIV/AIDS ke orang lain.
Yang beristri menularkannya ke istrinya secara horizontal. Jika istrinya tertular, maka ada pula risiko penularan vertikal ke bayi yang dikandungnya kelak, terutama pada saat persalinan dan menyusui dengan air susu ibu (ASI).
Baca juga: Penularan HIV/AIDS pada Tiga Remaja di Jembrana Bukan Karena Pergaulan Bebas (Kompasiana, 30 Juni 2024)
Yang diperlukan adalah langkah di hulu yaitu menurunkan, sekali lagi hanya bisa menurunkan, insiden infeksi HIV baru pada laki-laki pengunjung tempat-tempat hiburan malam yaitu dengan melakukan intervensi agar laki-laki selalu memakai kondom ketika melakukan hubungan seksual dengan perempuan pekerja hiburan malam.
Tentu diperlukan regulasi yang mengatur 'seks aman' di tempat hiburan malam dengan sanksi hukum bagi pengelola, bukan kepada pekerja, jika ada pekerja perempuan yang terdeteksi positif penyakit infeksi menular seksual (PIMS) atau HIV/AIDS atau keduanya sekaligus.
Soal sosialisasi dan edukasi bahaya HIV/AIDS sudah dilakukan sejak epidemi HIV/AIDS diakui pemerintah (1987), tapi hasilnya nol besar karena materi HIV/AIDS pada komunikasi, informasi dan edukasi (KIE) selalu dibalut dan dibumbui dengan norma, moral dan agama.
Akibatnya, fakta medis HIV/AIDS tenggelam sedangkan yang sampai ke masyararakat hanya mitos (anggapan yang salah).
Misalnya, mengait-ngaitkan penularan HIV/AIDS dengan zina, seks pranikah, seks di luar nikah, pelacuran, homoseksual dan seterusnya.
Padahal, risiko penularan HIV/AIDS melalui hubungan seksual bisa terjadi di dalam dan di luar nikah bukan karena sifat hubungan seksual, tapi kondisi saat terjadi hubungan seksual (salah satu atau keduanya mengidap HIV/AIDS dan laki-laki tidak memakai kondom). <>
* Syaiful W Harahap adalah penulis buku: (1) PERS meliput AIDS, Pustaka Sinar Harapan dan The Ford Foundation, Jakarta, 2000; (2) Kapan Anda Harus Tes HIV?, LSM InfoKespro, Jakarta, 2002; (3) AIDS dan Kita, Mengasah Nurani, Menumbuhkan Empati, tim editor, BPK Gunung Mulia, Jakarta, 2014; (4) Menggugat Peran Media dalam Penanggulangan HIV/AIDS di Indonesia, YPTD, Jakarta, 2022.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H