Terkait dengan kasus HIV/AIDS pada karyawan tempat hiburan malam, bisa saja mereka tertular dari tamu yang bisa juga warga setempat, Wisnus atau Wisman. Soalnya, tidak ada tes HIV terhadap perempuan pekerja hiburan malam sebelum mereka bekerja.
Nah, kalau perempuan pekerja di tempat hiburan malam tertular HIV/AIDS dari warga setempat, itu artinya warga tersebut jadi mata rantai penyebaran HIV/AIDS di masyarakat, terutama melalui hubungan seksual tanpa kondom di dalam dan di luar nikah.
Disebutkan lagi: Dinas Kesehatan Jembrana akan meningkatkan upaya pencegahan dengan cara melakukan pemeriksaan rutin di tempat-tempat yang berisiko tinggi serta memberikan edukasi kepada masyarakat tentang bahaya HIV/AIDS dan pentingnya perilaku seks yang aman.
Pemeriksaan, dalam hal ini tes HIV, di tempat-tempat berisiko adalah langka di hilir. Artinya, jika ada yang terdeteksi HIV-positif maka sudah terjadi penularan. Bahkan, bisa jadi yang terdeteksi HIV-positif di tempat berisiko tinggi sudah menularn HIV/AIDS ke orang lain.
Yang beristri menularkannya ke istrinya secara horizontal. Jika istrinya tertular, maka ada pula risiko penularan vertikal ke bayi yang dikandungnya kelak, terutama pada saat persalinan dan menyusui dengan air susu ibu (ASI).
Baca juga: Penularan HIV/AIDS pada Tiga Remaja di Jembrana Bukan Karena Pergaulan Bebas (Kompasiana, 30 Juni 2024)
Yang diperlukan adalah langkah di hulu yaitu menurunkan, sekali lagi hanya bisa menurunkan, insiden infeksi HIV baru pada laki-laki pengunjung tempat-tempat hiburan malam yaitu dengan melakukan intervensi agar laki-laki selalu memakai kondom ketika melakukan hubungan seksual dengan perempuan pekerja hiburan malam.
Tentu diperlukan regulasi yang mengatur 'seks aman' di tempat hiburan malam dengan sanksi hukum bagi pengelola, bukan kepada pekerja, jika ada pekerja perempuan yang terdeteksi positif penyakit infeksi menular seksual (PIMS) atau HIV/AIDS atau keduanya sekaligus.
Soal sosialisasi dan edukasi bahaya HIV/AIDS sudah dilakukan sejak epidemi HIV/AIDS diakui pemerintah (1987), tapi hasilnya nol besar karena materi HIV/AIDS pada komunikasi, informasi dan edukasi (KIE) selalu dibalut dan dibumbui dengan norma, moral dan agama.
Akibatnya, fakta medis HIV/AIDS tenggelam sedangkan yang sampai ke masyararakat hanya mitos (anggapan yang salah).
Misalnya, mengait-ngaitkan penularan HIV/AIDS dengan zina, seks pranikah, seks di luar nikah, pelacuran, homoseksual dan seterusnya.