Begitu juga dengan tap in dan tap out kartu, ada kartu JakLingko, TJ, kartu lansia dan lain-lain. Ada saja penumpang yang menunggu tempat di belakang pramudi kosong agar dia bisa pindah. Ada juga yang menjulurkan kepala agar tangannya sampai ke alat tap.
Padahal, hanya dengan meminta tolong kepada penumpang yang duduk di depan atau dekat alat tap kita tidak perlu menjulurkan kepala atau menunggu sampai penumpang turun. Agaknya, yang tidak mau meminta tolong bisa jadi dia jarang menolong.
Di Manila, Filipina, angkutan kota dikenal sebagai Jeepney satu baris ada delapan lebih. Tapi, kita tidak perlu ke depan membayar ongkos karena bisa estafet dari belakang. Agaknya, empati penumpang Jeepney lebih peka daripada setengah penumpang JakLingko.
Tapi, ada juga pramudi yang tidak peduli apakah penumpang di tempat duduk kiri baru dua atau tiga serta di kanan belum enam. Ini perlu perhatian manajemen JakLingko agar pramudi lebih berempati karena penumpang menghargai waktu.
Ketika ditanya, "Masih bisa?" penumpang cuek sehingga pramudi langsung tancap gas. Ini bertolak belakang dengan semboyan yang selalu dikumandangkan pejabat, pemuka masyarakat dan pemuka agama tentang sikap warga kita yang mereka sebut berbudaya dan beragama.
Padahal, kalau saja ada isyarat dari penumpang yang mempunyai empati bahwa masih ada tempat tentulah warga yang sudah menunggu di shelter bisa naik.
Penumpang JakLingko selalu mengucapkan terima kasih kepada pramudi ketika turun. Ini menunjukkan penghargaan yang ikhlas yang sejatinya disambut baik oleh pramudi. <>
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H