" .... Tidak hanya menyerang kalangan dewasa, kasus HIV/AIDS juga berpotensi menyasar kalangan remaja, salah satunya para siswa-siswi usia sekolah." Ini ada di lead berita "Tekan Penyebaran Kasus, KPA Kabupaten Tasikmalaya Edukasi Siswa SMA Pencegahan HIV AIDS" Ini judul berita di kabarsingaparna.pikiran-rakyat.com (14/8/2024).
Ada beberapa hal yang tidak akurat dalam pernyataan di atas, antara lain:
Pertama, HIV sebagai virus tidak menyerang karena HIV menular melalui perilaku seksual berisiko dan nonseksual berisiko sehingga bisa dicegah,
Kedua, kasus HIV/AIDS pada remaja merupakan hal yang realistis karena di masa itu libido mereka tinggi sehingga perlu disalurkan secara seksual.
Celakanya, informasi cara-cara penularan dan pencegahan HIV/AIDS yang dikemas dalam materi komunikasi, informasi dan edukasi (KIE) selalu dibalut dan dibumbui dengan norma, moral dan agama sehingga fakta medis HIV/AIDS tenggelam sedangkan yang sampai ke masyarakat hanya mitos (anggapan yang salah) tentang HIV/AIDS.
Misalnya, sudah jamak disebut penularan HIV/AIDS karena seks pranikah. Ini menyesatkan karena penularan HIV/AIDS melalui hubungan seksual bisa terjadi di dalam dan di luar nikah jika salah satu atau keduanya mengidap HIV/AIDS dan laki-laki tidak memakai kondom. Ini fakta!
Ketiga, yang potensial menyebarkan HIV/AIDS di masyarakat, terutama melalui hubungan seksual di dalam dan di luar nikah, justu laki-laki dewasa heteroseksual. Mereka mempunyai pasangan tetap (istri), bahkan ada laki-laki yang beristri lebih dari satu. Selain itu mereka juga ada yang jadi pelanggan pekerja seks komersial (PSK) yang sekarang lebih dikenal sebagai cewek prostitusi online.
Jika istri tertular HIV/AIDS dari suami, maka ada pula risiko penularan vertikal dari-ibu-ke-bayi yang dikandungnya.
Dalam berita disebut ada dua kasus HIV/AIDS yang terdeteksi pada pelajar. Kasus HIV/AIDS pada dua pelajar ini ada di terminal terakhir karena mereka tidak mempunyai istri.
Bandingkan dengan seorang suami yang tertular HIV/AIDS karena perilaku seksual berisiko. Mereka akan menularkan HIV/AIDS ke istrinya atau pasangan seks lain. Jika istri tertular HIV/AIDS, maka ada pula risiko penularan vertikal dari-ibu-ke-bayi yang dikandungnya terutama saat persalinan dan menyusui dengan air susu ibu (ASI).
Paradigma KPA Kabupaten Tasikmalaya ini rupanya tidak melihat realitas terkait dengan penyebaran HIV/AIDS di masyarakat.
Baca juga: Di Kabupaten Tasikmalaya Hanya Remaja yang Jadi Sasaran Sosialiasi HIV/AIDS
Wartawan yang menulis berita ini juga tidak bertanya berapa kasus HIV/AIDS yang terdeteksi pada ibu rumah tangga. Jumlah ibu rumah tangga yang terdeteksi HIV/AIDS menggambarkan epidemi HIV/AIDS di Kabupaten Tasikmalaya karena jumlah ibu rumah tangga yang mengidap HIV/ADIS minimal sama dengan jumlah laki-laki, dalam hal ini suami, yang juga mengidap HIV/AIDS.
Risiko tertular HIV/AIDS justru lebih besar pada laki-laki dewasa daripada remaja karena mereka mempunyai uang untuk membeli seks. Selain itu laki-laki dewasa juga bisa melakukan perilaku seksual berisiko tertular HIV/AIDS di luar daerah, bahkan di luar negeri.
Dalam berita ada pernyataan dari Staf KPA Kabupaten Tasikmalaya, E. Azizah M, SKM, fenomena saat ini dimana kasus penyebaran HIV AIDS juga menyerang kalangan remaja, khususnya para siswa di tingkat SMA/SMK.
Seperti disebutkan sebelumnya, HIV/AIDS tidak menyerang tapi menular melalui perilaku seksual dan nonseksual berisiko.
Dalam berita tidak dijelaskan jenis kelamin dua siswa yang terdeteksi HIV/AIDS dan faktor risikonya.
Baca juga: Mengapa Kasus HIV/AIDS Meningkat di Kabupaten Tasikmalaya
Jika keduanya remaja putra, maka persoalannya adalah mereka tidak mendapatkan informasi yang akurat tentang cara-cara mencegah agar tidak tertular HIV/AIDS melalui hubungan seksual. Mereka menghadapi kebutuhan biologis untuk menyalurkan libido. Bisa jadi mereka melakukan hubungan seksual dengan PSK atau PSK tidak langsung, seperti cewek di kafe, pub, pijat plus atau melalui prostitusi online.
Baca juga: "ABAT" (Aku Bangga Aku Tahu) Tidak Memberikan Cara Pencegahan HIV/AIDS yang Eksplisit
Tapi, perlu diingat mereka tertular HIV/AIDS bukan karena melakukan hubungan seksual di luar nikah dengan sifat zina, tapi karena cewek yang jadi pasangan mereka mengidap HIV/AIDS dan dua remaja putra itu tidak memakai kondom. Ini fakta!
Ada lagi pernyataan: Selian melakukan edukasi, dalam pelaksanaan kegiatan ini juga dilakukan tes HIV oleh petugas kesehatan dari PKM Puskesmas Bojonggambir.
Ini langkah yang menyesatkan karena sudah menyamaratakan perilaku semua siswa. Tidak semua siswa dan sisw pernah atau sering melakukan perilaku seksual dan nonseksual berisiko.
Selain itu jika tes HIV dilakukan dengan cara survailans, maka risikonya besar karena siswa dengan hasil reaktif akan menanggung beban. Padahal, hasil tes HIV melalui survailans tes bisa positif palsu atau negatif palsu.
Lagi pula standar prosedur operasi tes HIV yang baku menyebut hal hasil tes itu belum tentu positif karena hasil tes HIV pada survailans harus dikonfirmasi dengan tes lain.
Sejatinya dilakukan konseling agar mengetahui perilaku seksual dan nonseksual yang pernah mereka lakukan. Dan, siswa-sisw bukan sasaran skrining HIV/AIDS. <>
* Syaiful W Harahap adalah penulis buku: (1) PERS meliput AIDS, Pustaka Sinar Harapan dan The Ford Foundation, Jakarta, 2000; (2) Kapan Anda Harus Tes HIV?, LSM InfoKespro, Jakarta, 2002; (3) AIDS dan Kita, Mengasah Nurani, Menumbuhkan Empati, tim editor, BPK Gunung Mulia, Jakarta, 2014; (4) Menggugat Peran Media dalam Penanggulangan HIV/AIDS di Indonesia, YPTD, Jakarta, 2022.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H