"Meski demikian, Muslihi (Plh Kasi Humas Polres Buteng, Ipda Muslihi-Pen.) Â mengaku belum mengetahui pasti motif yang dilakukan oknum guru tersebut melakukan aksi pencabulannya terhadap 24 siswi SD." Ini ada dalam berita "Guru di Buton Tengah Diduga Cabuli 24 Siswi SD Sejak Mei hingga Juli" di cnnindonesia.com, 3/8/2024.
Kalau saja Ipda Muslihi mengetahui bentuk-bentuk penyaluran dorongan seksual (birahi) para parafilia (orang-orang, laki-laki dan perempuan, yang menyalurkan dorongan seksual dengan cara yang lain) tentulah tidak akan muncul pernyataan 'belum mengetahui pasti motif yang dilakukan oknum guru tersebut melakukan aksi pencabulannya terhadap 24 siswi SD.'
Soalnya, yang dilakukan oleh MS, 30 tahun, guru pendidikan jasmani olahraga dan kesehatan (Penjaskes) di sebuah SD di Kabupaten Buton Tengah, Sulawesi Tenggara (Sultra) merupakan aktivitas seksual sebagai seorang parafilia, dalam hal ini pedofilia yaitu laki-laki dewasa yang menyalurkan birahinya kepada anak-anak, laki-laki dan perempuan, umur 7-12 tahun.
Baca juga: Parafilia Adalah Memuaskan Dorongan Hasrat Seksual 'di Atau dari Sisi Lain'
Kasus serupa sudah sering terjadi di Nusantara, tapi karena UU terkait dengan kejahatan seksual, seperti KUHP dan UU Perlindungan anak, sama sekali tidak mengakomodir kejahatan seksual yang dilakukan oleh pedofilia, maka yang dipakai hanya pasal-pasal pencabulan saja dengan ancaman hukuman yang rendah.
Lebih lanjut dikatakan oleh Ipda Muslihi, "Untuk motif masih didalami Unit PPA Satreskrim, karena tersangka juga masih sementara dalam pemeriksaan."
Baca juga: Kasus 'Paedofil' di Lombok: Paedofilia Bukan Homoseksual
Tentu saja tidak ada motif yang khas karena hal yang dilakukan oleh MS sebagai pelampiasan dorongan seksualnya sebagai seorang paedofilia. Dalam kaidah seksualitas tidak dikenal seks menyimpang sehingga penyaluran dorongan seksual yang dilakukan oleh kalangan parafilia merupakan hal yang alamiah.
Yang jadi persoalan tidak ada ancaman hukuman yang khusus bagi parafilia, dalam hal ini pedofilia, dan hukumannya pun tidak secara akumulatif. Itu artinya biarpun terbukti kejahatan terhadap 24 siswi SD hukumannya kelak tidak dikalikan dengan 24, tapi hanya satu vonis untuk 24 korban.
Seperti kasus MS, misalnya, Polres Buton Tengah menjerat MS dengan pasal 82 UU Nomor 17 tahun 2016 tentang penetapan Perpu Nomor 1 Tahun 2016 tentang perubahan kedua atas UU Nomor 23 tahun 2002 tentang perlindungan anak juncto pasal 65 KUHP.
Ancaman pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun dan denda paling banyak Rp 5 miliar.
Pelaku hanya mendekam paling lama 15 tahun di penjara, sementara 24 siswi yang jadi korban mengalami trauma puluhan tahun ke depan. Mereka juga menerima sindiran dari setengah orang, terutama kaum perempuan, yang selalu menyalahkan korban dalam kasus kejahatan seksual. <>
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H