Mohon tunggu...
Syaiful W. HARAHAP
Syaiful W. HARAHAP Mohon Tunggu... Blogger - Peminat masalah sosial kemasyarakatan dan pemerhati berita HIV/AIDS

Aktivis LSM (media watch), peminat masalah sosial kemasyarakatan, dan pemerhati (berita) HIV/AIDS

Selanjutnya

Tutup

Joglosemar Pilihan

Dilema Kaki Lima Malioboro Yogyakarta

2 Agustus 2024   00:00 Diperbarui: 2 Agustus 2024   00:03 249
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi -- Teras Malioboro 2 (Foto: salsawisata.com)

Ketika pertama kali berkunjung ke Kota Jogja, yang juga dikenal sebagai Yogyakarta, di awal tahun 1970-an selepas SLTA dari Kota Medan, Sumatera Utara (Sumut), suasana kaki lima atau emperan toko di sepanjang Jalan Malioboro, terutama di sisi barat, mulai dari pintu kereta Stasiun Tugu sampai Bioskop Indra penuh dengan pedagang oleh-oleh berupa barang kerajinan.

Memang, jalan kaki di kaki lima Malioboro jadi tidak nyaman. Tapi, sepertinya itu merupakan ciri khas Malioboro yang jadi cerita yang tidak berkesudahan.

Dengan kondisi itu tidak memungkinkan untuk jalan bergandengan karena jalan sendiri saja sudah saling senggolan. Padahal, dengan bergandengan terutama bagi suami-istri dan pasangan yang pacaran jadi bagian dari romantisme jalan-jalan di jalan yang penuh dengan kenangan yang mendunia itu.

Agaknya, daripada menyebut Jogja atau Yogyakarta lebih cepat diterima sebutan Malioboro karena dengan menyebut Yogyakarta banyak aspek di sana, tapi dengan menyebut Malioboro otomatis sebagai Jogja.

Memang, ada juga sebutan khas untuk Jogya yaitu 'Kota Gudeg' yang menunjukkan makanan khas kota yang juga dapat julukan sebagai 'Kota Pelajar' ini.

Baca juga: Memimpikan 'Kesultanan Jogjakarta' Sebagai 'Monaco'-nya Indonesia

Yogyakarta sendiri pernah jadi Ibu Kota RI ketika dipindahkan secara diam-diam pada 4/1/1946 sampai 27/12/1949. Gedung Agung yang merupakan salah satu istana negara yang terletak di ujung selatan Malioboro dijadikan sebagai kantor pusat pemerintah RI.

Pemindahan Ibu Kota RI tersebut merupakan upaya Sri Sultan Hamengku Buwono IX untuk menjaga keamaman Presiden Soekarno yang ketika itu dinilai lebih aman dariapda berkantor di Jakarta.

Yogyakarta jadi ikon pariwisata nasional dengan objek wisata budaya dan alam. Kraton jadi tujuan wisata dunia, dengan Candi Borobudur (yang sejatinya masuk wilayah administrasi Jawa Tengah) dan Candi Prambanan yang juga jadi magnet bagi wisatawan nusantara dan mancanegara. Objek wisata alam juga memanjakan wisatawan.

Hanya Pulau Bali yang bisa 'mengalahkan' Yogyakarta dalam hal tingkat kunjungan, tapi itu terjadi karena tingkat permisivisme yang tinggi di Bali jika dibandingkan dengan Yogyakarta.

Di Bali turis bule bisa melenggang di kota cukup dengan kolor bagi turis laki-laki serta kolor dan kutang (BH) bagi turis perempuan. Hal ini tidak bisa dilakukan turis bule di daerah tujuan wisata (DTW) lain di Indonesia. Dulu pakaian turis bule juga 'ala kadarnya' di Yogyakarta, tapi hawa reformasi membuat hal itu berubah.

Ilustrasi: Suasana di salah satu sudut kaki lima Malioboro, Yogyakarta, sebelum direlokasi (Sumber: delta-ind10.blogspot.com)
Ilustrasi: Suasana di salah satu sudut kaki lima Malioboro, Yogyakarta, sebelum direlokasi (Sumber: delta-ind10.blogspot.com)

Kembali ke Malioboro upaya Pemerintah Kota (Pemko) Jogja menata kaki lima Maliboro terus berjalan. Misalnya, membatasi lahan bagi pedagang dengan memberikan garis putih. Tapi, ada saja pedagang yang melawan aturan itu dengan melewati batas.

Tanpa disadari ternyata ada perbedaan antara pedagang warga asli Yogyakarta dan pedagang pendatang yaitu terkait dengan label harga.

Baca juga: Harga Berlabel dan Tidak Berlabel di Malioboro Yogyakarta

Ada juga wacana Malioboro bebas kendaraan bermotor, seperi sepeda motor dan mobil, tapi Pemko Jogja kesulitan menyediakan tempat parkir karena kawasan di kiri-kanan Malioboro merupakan permukiman padat (penduduk).

Sebuah sudut Teras Maliboro 1 (Foto: terasmalioboro.jogjaprov.go.id)
Sebuah sudut Teras Maliboro 1 (Foto: terasmalioboro.jogjaprov.go.id)

Oleh-oleh berupa barang kerajinan jadi souvenir khas di kaki lima Maliboro, jika malam digantikan dengan kuliner dengan berbagai macam minuman dan makanan khas Jogya, seperti nasi gudeg dan pecel, dan juga makanan khas daerah lain. Seperti teh talu atau teh telur yang khas minuman Sumatera Barat (Sumbar) yaitu teh yang dicampur dengan kuning telur ayam kampung ada di Maliboro.

Baca juga: Label Harga dan Mitos Untung di Jalan Malioboro Yogyakarta

Belakangan, pedagang di kaki lima Maliboro dipindahkan (relokasi) ke Teras Maliboro 1 yaitu kawasan bekas Bioskop Indra di ujung selatan Maliboro dekat Gedung Agung. Sedangkan Teras Maliboro 2 di dekat Kantor DPRD DIY di Jalan Maliboro.

Suasana hiruk-pikuk dan senggol-senggolan di kaki lima Maliboro kini tidak ada lagi yang bagi sebagian turis merupakan bagian dari romantisme Yogyakarta. <>

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Joglosemar Selengkapnya
Lihat Joglosemar Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun