Mohon tunggu...
Syaiful W. HARAHAP
Syaiful W. HARAHAP Mohon Tunggu... Blogger - Peminat masalah sosial kemasyarakatan dan pemerhati berita HIV/AIDS

Aktivis LSM (media watch), peminat masalah sosial kemasyarakatan, dan pemerhati (berita) HIV/AIDS

Selanjutnya

Tutup

Financial Pilihan

Pinjol yang Dilematis Antara Kebutuhan dan Kekerabatan yang Kian Pudar

24 Juli 2024   07:04 Diperbarui: 24 Juli 2024   07:09 45
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi (Sumber: WA/Thamrin Dahlan)

Sejatinya, kekerabatan bisa jadi solusi bagi yang memerlukan bantuan, tapi zaman mengerus kekerabatan (pertalian keluarga, persaudaraan) dari kehidupan bangsa ini. Bahkan, badan-badan amal lebih mementingkan warga di luar persaudaraan sebangsa.

Celakanya, pemerintah terpana dengan statement badan-badan internasional yang menempatkan Indonesia sebagai negara kaya dengan pendapatan menengah hanya berpijak pada fakta (statistik) yang jauh dari realitas sosial di social settings.

Padahal, kehidupan realistis menunjukkan tidak sedikit warga yang hidup di bawah garis kemiskinan, tidak mempunyai lahan di kampung yang mendorong urbanisasi. Mereka justru dihadang oleh arogansi pemerintah daerah yang jadi tujuan urbanisasi. Daerah-daerah tujuan urbanisasi itu lupa diri yang sebenarnya mereka besar karena terjadi pemusatan pembangunan yaitu pembangunan yang tidak merata di Tanah Air.

Beban warga yang tidak mempunyai penghasilan tetap kian berat ketika mereka menyekolahkan anak, terutama pendidikan dasar, karena pemerintah tidak menyiapkan sarana dan prasarana pendidikan dasar yang gratis seperti diamanatkan UUD 1945.

Kebutuhan warga yang tidak bisa dipenuhi pemerintah jadi celah bagi kalangan oportunis (yaitu orang-orang yang menganut paham oportunisme: KBBI-paham yang semata-mata hendak mengambil keuntungan untuk diri sendiri dari kesempatan yang ada tanpa berpegang pada prinsip tertentu).

Salah satu kebutuhan itu adalah uang kontan untuk berbagai keperluan. Meminjam ke bank tidaklah mudah, apalagi rakyat kecil yang hanya membutuhkan dana di bawah Rp 1 juta. Belakangan ada pegadian, tapi harus dengan jaminan berupa barang. Ini juga sulit bagi kalangan orang kebanyakan.

Input Ilustrasi (Sumber: keuangan.kontan.co.id)sumber gambar
Input Ilustrasi (Sumber: keuangan.kontan.co.id)sumber gambar

Belakangan muncul Pinjol (pinjaman online) yaitu badan yang menyediakan pinjaman melalui online dari penyedia jasa keuangan yang beroperasi secara Daring (dalam jaringan).

Celakanya, ada Pinjol yang liar yaitu yang tidak mempunyai izin resmi sesuai dengan ketentuan yang diatur di bawah wewenang Otoritas Jasa Keuangan (OJK).

Pinjol liar itu memberikan kemudahan untuk meminjam uang, tapi berujung pada kesengsaraan karena cara-cara penagihan, terutama bagi peminjam yang tidak melunasi angsuran sesuai dengan perjanjian. Bahkan, diancam identitas peminjam yang tidak bayar tagihan akan disebarkan melalui media sosial.

Sayangnya, kekerabatan tidak bisa diandalkan untuk tempat meminjam. Bahkan, yang terjadi justru hujatan dan 'nyanyian' yang menyebar luas yang justru menyuburkan stigma (cap buruk) bagi warga (calon) peminjam.

Sehubungan dengan kian banyaknya korban Pinjol, Asosiasi Portal Indonesia menyelenggarakan sosialisasi tentang penyalahgunaan data pribadi pada Pinjol ilegal di Taman Benyamin Suaeb, Jatinegara, Jakarta Timur, Senin, 22/72024.

Semula diharapkan ada pembicara dari OJK dan Komisi XI DPR, tapi kedunya berhalangan hadir. Nur Alim, selaku Ketua Asosiasi Portal Indonesia, membuka acara dengan pembicara akademisi dari Instutut Teknologi Tangerang Selatan, Agung Budi Prasetilo, ST, MEng, PhD.

Dalam paparannya Agung mengingatkan masyarakat agar lebih arif memilih Pinjol karena Pinjol legal yang diakui OJK menerapkan cara-cara yang sah, seperti cara penagihan yang santun, ada saluran pengaduan serta tidak menyalahgunakan data pribadi. Sementara Pinjol ilegal berlaku sebaliknya.

Pinjol legal mempunyai situs web dan alamat sehingga jika ada masalah OJK bisa menindaklanjutinya, sedangkan Pinjol ilegal hanya menawarkan jasa melalui media sosial sehingga tidak bisa ditangani OJK jika ada masalah.

Pinjol mulai dikenal di Indonesia sejak tahun 2016 ketika muncul lembaga keuangan digital. Sampai Desember 2023 data OJK menunjukkan ada 18,07 juta warga yang jadi peminjam aktif di platform financial technology peer-to-peer (fintech p2p) lending  atau pinjaman online (Pinjol).

Sampai Juli 2024 perusahaan Pinjol legal yang terdaftar di OJK sebanyak 98. Sementara itu sudah 8.500 Pinjol ilegal yang ditutup.

Melihat potensi peminjam yang besar, selayaknya negara (baca: pemerintah) hadir. Misalnya, melalui koperasi simpan-pinjam di tingkat desa sehingga bisa dijangkau oleh warga.

Sedangkan untuk keperluan kuliah, pemerintah daerah, seperti pemerintah kabupaten dan kota, bisa menyiapkan dana dari APBD untuk pinjaman dengan skema kredit.

Baca juga: Cegah Mahasiswa Terjerat Pinjol Pakai Dana APBD untuk Dukung Biaya Kuliah dengan Skema Kredit

Daripada dana APBD dianggarkan untuk kegiatan yang tidak langsung menyangkut harkat hidup warga selayaknya lebih baik untuk mendukung biaya pendidikan warga.

Maka, adalah arif dan bijaksana jika Toma dan Toga (tokoh masyarakat dan tokoh agama) mendorong agar kekerabatan bisa jadi bagian dari kehidupan bermasyarakat sehingga jadi pilar berbangsa dan bernegara.

Begitu juga dengan badan-badan amal, sejatainya mengutamakan warga sendiri daripada warga nun di seberang lautan nan jauh (dari berbagai sumber). <>

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Financial Selengkapnya
Lihat Financial Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun