Mohon tunggu...
Syaiful W. HARAHAP
Syaiful W. HARAHAP Mohon Tunggu... Blogger - Peminat masalah sosial kemasyarakatan dan pemerhati berita HIV/AIDS

Aktivis LSM (media watch), peminat masalah sosial kemasyarakatan, dan pemerhati (berita) HIV/AIDS

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Transmigrasi Mengubah Makanan Pokok Masyarakat yang Mendorong Impor Beras

20 Juli 2024   07:28 Diperbarui: 20 Juli 2024   07:30 260
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi - Papeda dengan ikan kuah kuning. (Sumber: kompas.com - Dok. Shutterstock/Fidia Helianti)

Program transmigrasi [KBBI: perpindahan penduduk dari satu daerah (pulau) yang berpenduduk padat ke daerah (pulau) lain yang berpenduduk jarang] sudah dimulai kolonial Belanda pada tahun 1905 dari Pulau Jawa ke Gedong Tataan di Provinsi Lampung.

Penulis pernah bertemu dengan seorang transmigran dari Kebumen, Jawa Tengah, di Gedong Tataan tahun 1984. Waktu itu umur warga, laki-laki, tersebut 80-an tahun mengaku ketika ikut ke Lampung masih memakai celana pendek.

Selain ke Lampung transmigrasi juga dijalankan Belanda ke Sumatera Barat dan Sumatera Utara untuk bekerja di perkebunan karet, kelapa sawit dan teh.

Sedangkan transmigrasi di era kemerdekaan dimulai tahun 1950. Transmigrasi terus berlanjut sampai sekarang. Bahkan, dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) Tahun 2020-2024 ada 52 Kawasan Transmigrasi Prioritas Nasional.

Transmigran dari Pulau Jawa datang dengan makanan pokok nasi. Ketika mereka dibawa ke Pulau Sumatera, Kalimantan dan Sulawesi tidak ada masalah karena di daerah itu juga makanan pokoknya adalah nasi.

Tapi, ketika mereka dipindahkan ke wilayah Maluku (Maluku dan Maluku Utara) serta Papua muncul masalah besar karena di daerah itu makanan pokok masyarakat adalah papeda yaitu makanan dengan bahan baku sagu (tepung dari hati barang enau dan rumbia).

Papeda yaitu tepung (sagu) yang dimasak jadi bubur berwarna putih dan lengket, seperti lem, dengan rasa yang tawar. Papeda dimakan dengan lauk, terutama ikan.

Sedangkan, di Pulau Buru, Maluku, makanan pokok masyarakat disebut hotong yaitu bubur pengganti beras yakni nasi yang dicampur dengan labu atau kacang merah.

Nasi jagung adalah makanan pokok masyarakat Madura dan beberapa daerah di Jawa Timur secara turun-temurun. Kandungan karbohidrat dalam jagung membuat bahan makanan yang satu ini cocok dijadikan makanan pokok.

Kedatangan transmigrasi dari Pulau Jawa dengan makanan pokok nasi kemudian diikuti oleh warga setempat. Celakanya, di daerah itu tidak ada lahan yang luas untuk menanam padi sehingga kebutuhan besarpun didatangkan dari luar daerah, seperti dari Pulau Sulawesi.

Tentu saja kondisi itu menimbulkan kerawanan yang membuat harga besar tinggi karena tergantung pasokan dari luar daerah.

Akibatnya, terjadi kelaparan di beberapa daerah karena kelangkaan beras. Padahal, sebelum ada beras warga tidak pernah kekurangan makanan pokok. Mereka berocok-tanam, seperti umbi-umbian, dengan kearifan lokal yaitu mencabut dan sekaligus menanam kembali.

Baca juga: Antisipasi Tragedi Kelaparan di Tanah Papua

Ibarat nasi sudah jadi bubur, sejatinya transmigran yang dipindahkan ke Maluku dan Papua tidak membawa nasi sebagai makanan pokok, tapi mengikuti pola makan warga setempat yaitu makan sagu.

Tapi, masyarakat di Palau Madura, Jawa Timur, yang sebelumnya menjadikan jagung sebagai bahkan makanan pokok juga beralih ke beras.

Itu artinya jumlah warga di Indonesia yang menjadikan nasi sebagai makanan pokok bertambah, sedangkan produksi padi tidak mencukupi yang akhirnya pemerintah mengimpor beras dari beberapa negara di Asean dan Asia.

Impor Beras Menurut Negara Asal Utama Tahun 2017-2023 (Sumber: bps.go.id)
Impor Beras Menurut Negara Asal Utama Tahun 2017-2023 (Sumber: bps.go.id)

Laporan Badan Pusat Statistik (BPS) di atas menunjukkan besaran impor beras dari tahun 2017 -- 2023. Padahal, pemerintah selalu sesumbar swasembada.

Di sisi lain muncul pula anjuran untuk diversivikasi (penganekaragaman) pangan. Tapi, ada pakar yang mengatakan tidak perlu karena jika lahan padi ditangani dengan mekanisasi pertaniana, maka produksi padi berlebih dan bisa diekspor.

Baca juga: Tidak Perlu Diversifikasi Pangan Wujudkan Kedaulatan Beras dengan Rice Estate

Jika kedaulatan beras tidak bisa diwujudkan pemerintah, maka perlu mengembalikan makanan pokok khas daerah agar tidak lagi tergantung pada beras yang kini jadi komoditas impor sehingga harganya mahal. <>

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun