Tentu saja kondisi itu menimbulkan kerawanan yang membuat harga besar tinggi karena tergantung pasokan dari luar daerah.
Akibatnya, terjadi kelaparan di beberapa daerah karena kelangkaan beras. Padahal, sebelum ada beras warga tidak pernah kekurangan makanan pokok. Mereka berocok-tanam, seperti umbi-umbian, dengan kearifan lokal yaitu mencabut dan sekaligus menanam kembali.
Baca juga: Antisipasi Tragedi Kelaparan di Tanah Papua
Ibarat nasi sudah jadi bubur, sejatinya transmigran yang dipindahkan ke Maluku dan Papua tidak membawa nasi sebagai makanan pokok, tapi mengikuti pola makan warga setempat yaitu makan sagu.
Tapi, masyarakat di Palau Madura, Jawa Timur, yang sebelumnya menjadikan jagung sebagai bahkan makanan pokok juga beralih ke beras.
Itu artinya jumlah warga di Indonesia yang menjadikan nasi sebagai makanan pokok bertambah, sedangkan produksi padi tidak mencukupi yang akhirnya pemerintah mengimpor beras dari beberapa negara di Asean dan Asia.
Laporan Badan Pusat Statistik (BPS) di atas menunjukkan besaran impor beras dari tahun 2017 -- 2023. Padahal, pemerintah selalu sesumbar swasembada.
Di sisi lain muncul pula anjuran untuk diversivikasi (penganekaragaman) pangan. Tapi, ada pakar yang mengatakan tidak perlu karena jika lahan padi ditangani dengan mekanisasi pertaniana, maka produksi padi berlebih dan bisa diekspor.
Baca juga: Tidak Perlu Diversifikasi Pangan Wujudkan Kedaulatan Beras dengan Rice Estate
Jika kedaulatan beras tidak bisa diwujudkan pemerintah, maka perlu mengembalikan makanan pokok khas daerah agar tidak lagi tergantung pada beras yang kini jadi komoditas impor sehingga harganya mahal. <>