Mohon tunggu...
Syaiful W. HARAHAP
Syaiful W. HARAHAP Mohon Tunggu... Blogger - Peminat masalah sosial kemasyarakatan dan pemerhati berita HIV/AIDS

Aktivis LSM (media watch), peminat masalah sosial kemasyarakatan, dan pemerhati (berita) HIV/AIDS

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Pilihan

Menunggu Langkah Pemprov Aceh Cegah HIV/AIDS

25 Juni 2024   21:33 Diperbarui: 25 Juni 2024   21:53 82
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

"Keputusan ini mengatur permasalahan penanganan dan sanksi kepada komunitas LGBT serta meminta pemerintah untuk melakukan program pencegahan HIV/AIDS di kalangan LGBT." Ini pernyataan Ketua Majelis Permusyawaratan Ulama (MPU) Aceh, Tgk Faisal Ali alias Lem Faisal, dalam berita "Tak Hanya Judi Online, Ulama Aceh juga Minta Pemerintah Cegah HIV/AIDS" (rmol.id, 25/6/2024).

Pernyataan di atas menunjukkan pemahaman terhadap epidemi HIV/AIDS yang tidak komprehensif.

Pertama, risiko tertular dan menularkan HIV/AIDS melalui hubungan seksual tanpa kondom, di dalam dan di luar nikah, tidak ada kaitannya dengan orientasi seksual, dalam kaitan berita ini lesbian, gay dan biseksual (transgender bukan orientasi seksual tapi identitas gender).

Kedua, seks pada lesbian bukan faktor risiko penularan HIV/AIDS karena tidak ada seks penetrasi pada kegiatan seks di kalangan lesbian.

Ketiga, kasus HIV/AIDS pada lesbian (penularan bukan karena aktivitas seks, tapi karena faktor risiko lain) dan gay ada di komunitas mereka sehingga tidak menyebar ke masyarakat.

Keempat, kasus HIV/AIDS pada biseksual jadi mata rantai penyebaran HIV/AIDS, terutama kepada pasangannya (istri). Jika istrinya tertular ada pula risiko penularan dari-ibu-ke-bayi yang dikandungnya kelak.

Kelima, kasus HIV/AIDS pada transgender bersifat pasif karena laki-laki heteroseksual yang membeli seks kepada transgender.

Untuk informasi yang kasat mata dari LGBT hanya transgender, sedangkan lesbian, gay dan biseksual tidak bisa dilihat dengan mata telanjang karena tidak ada ciri-ciri khas pada fisik mereka yang menunjukkan identitas sebagai lesbian, gay dan biseksual.

Yang perlu diperhatikan adalah pemerintah tidak bisa memutus mata rantai penyebaran HIV/AIDS karena perilaku seksual berisiko ada di ranah privasi orang per orang yang tidak bisa diintervensi atau dijangkau.

Baca juga: Hanya Orang per Orang yang Bisa Memutus Mata Rantai Penularan HIV/AIDS Melalui Hubungan Seksual

Dulu ketika praktek pelacuran dilokalisir ada intervensi untuk memaksa laki-laki memakai kondom ketika melakukan hubungan seksual dengan pekerja seks komersial (PSK).

Tapi, sekarang praktek pelacuran ada di dunia maya dengan transaksi melalui jaringan Internet di handphone (HP) atau telepon seluler (Ponsel) dan perangkat elektronik lain yang ada di genggaman orang per orang. Artinya, sekarang praktek pelacuran kini pindah ke media sosial (Medsos).

Matriks: Penyebaran HIV/AIDS Melalui Laki-laki Heteroseksual/Biseksul Dibanding Gay dan Pelajar. (Foto: Dok/AIDS Watch Indonesia/Syaiful W. Harahap)
Matriks: Penyebaran HIV/AIDS Melalui Laki-laki Heteroseksual/Biseksul Dibanding Gay dan Pelajar. (Foto: Dok/AIDS Watch Indonesia/Syaiful W. Harahap)

Lagi pula kasus HIV/AIDS pada LGBT (kecuali biseksual) ada di komitas mereka. Yang jadi persoalan besar adalah kasus HIV/AIDS pada laki-laki dewasa.

Studi Kemenkes tahun 2012 menunjukkan di Indonesia ada 6,7 juta laki-laki dewasa pelanggan PSK. Dari jumlah ini 4,9 juta mempunyai istri (bali.antaranews.com, 9/4/2013).

Itu artinya ada 4,9 juta istri yang berisiko tertular HIV/AIDS dari suaminya yang jadi pelanggan PSK. Bisa jadi dari 4,9 juta suami itu ada yang mempunyai istri lebih dari satu, ada pula yang punya selingkuhan sehingga jumlah perempuan yang berisiko tertular HIV/AIDS tambah banyak.

Laporan Triwulan I Tahun 2023 di Website HIV PIMS Indonesia menunjukkan jumlah kasus AIDS pada ibu rumah tangga di Indonesia sampai Maret 2023 ada di peringkat ketiga sebanyak 20.785 setelah kasus tidak diketahui (38.706) dan karyawan (25.119). Taun 2022 dilaporkan 503 bayi yang lahir dari ibu pengidap HIV/AIDS.

Selain kasus HIV/AIDS ada pula kasus sifilis (raja singa) yang terdeteksi pada ibu hamil. Tahun 2022 dilaporkan sebanyak 5.590. Mereka ini tertular dari suaminya.

Dengan data ini, apakah kita masih menyasar LGBT yang secara realitas penyebaran HIV/AIDS dan sifilis justru dilakukan oleh laki-laki beristri?

Laporan triwulan kasus HIV/AIDS yang dilansir "HIV PIMS Indonesia" sampai tanggal 31 Maret 2023, sekali lagi baru sampai 31 Maret 2023, jumlah kumulatif kasus HIV/AIDS di Provinsi Aceh mencapai 2.100 yang terdiri atas 1.404 HIV dan 696 AIDS.

Kalau saja wartawan yang menulis berita ini mencari data ke Dinas Kesehatan Aceh dan Komisi Penanggulangan AIDS (KPA) Aceh tentulah ada angka perbandingan kasus antara LGBT dan laki-laki heteroseksual serta kasus pada ibu rumah tangga dan bayi.

Tidak ada cara yang bisa dilakukan pemerintah, dalam hal ini Pemprov Aceh, untuk memutus mata rantai penyebaran HIV/AIDS di masyarakat karena semua terjadi tanpa disadari yang merupakan 'silent disaster' (bencana terselubung).

Hal tersebut bisa terjadi karena warga, dalam hal ini laki-laki heteroseksual dewasa yang tertular HIV/AIDS tidak menyadarinya karena tidak ada tanda-tanda, ciri-ciri dan gejala-gejala yang khas AIDS pada keluhan kesehatan dan fisik sebelum masa AIDS (secara statistik antara 5-15 tahun setelah tertular jika tidak menjalani pengobatan dengan obat antiretroviral/ART).

Langkah konkret yang bisa dilakukan Pemprov Aceh hanya mencegah penularan HIV/AIDS dari ibu-ke-bayi yang dikandungnya.

Baca juga: Pemko Banda Aceh Hanya Bisa Menyelamatkan Bayi Agar Tidak Lahir dengan HIV/AIDS

Adalah hal yang mustahil pemerintah, dalam hal ini Pemprov Aceh, bisa memutus mata rantai penyebaran HIV/AIDS karena risiko tertular HIV/AIDS ada pada orang per orang melalui perilaku seksual berisiko di Aceh, di luar Aceh atau di luar negeri. []

* Syaiful W Harahap adalah penulis buku: (1) PERS meliput AIDS, Pustaka Sinar Harapan dan The Ford Foundation, Jakarta, 2000; (2) Kapan Anda Harus Tes HIV?, LSM InfoKespro, Jakarta, 2002; (3) AIDS dan Kita, Mengasah Nurani, Menumbuhkan Empati, tim editor, BPK Gunung Mulia, Jakarta, 2014; (4) Menggugat Peran Media dalam Penanggulangan HIV/AIDS di Indonesia, YPTD, Jakarta, 2022.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun