Tidak ada cara yang bisa dilakukan pemerintah, dalam hal ini Pemprov Aceh, untuk memutus mata rantai penyebaran HIV/AIDS di masyarakat karena semua terjadi tanpa disadari yang merupakan 'silent disaster' (bencana terselubung).
Hal tersebut bisa terjadi karena warga, dalam hal ini laki-laki heteroseksual dewasa yang tertular HIV/AIDS tidak menyadarinya karena tidak ada tanda-tanda, ciri-ciri dan gejala-gejala yang khas AIDS pada keluhan kesehatan dan fisik sebelum masa AIDS (secara statistik antara 5-15 tahun setelah tertular jika tidak menjalani pengobatan dengan obat antiretroviral/ART).
Langkah konkret yang bisa dilakukan Pemprov Aceh hanya mencegah penularan HIV/AIDS dari ibu-ke-bayi yang dikandungnya.
Baca juga: Pemko Banda Aceh Hanya Bisa Menyelamatkan Bayi Agar Tidak Lahir dengan HIV/AIDS
Adalah hal yang mustahil pemerintah, dalam hal ini Pemprov Aceh, bisa memutus mata rantai penyebaran HIV/AIDS karena risiko tertular HIV/AIDS ada pada orang per orang melalui perilaku seksual berisiko di Aceh, di luar Aceh atau di luar negeri. []
* Syaiful W Harahap adalah penulis buku: (1) PERS meliput AIDS, Pustaka Sinar Harapan dan The Ford Foundation, Jakarta, 2000; (2) Kapan Anda Harus Tes HIV?, LSM InfoKespro, Jakarta, 2002; (3)Â AIDS dan Kita, Mengasah Nurani, Menumbuhkan Empati, tim editor, BPK Gunung Mulia, Jakarta, 2014; (4) Menggugat Peran Media dalam Penanggulangan HIV/AIDS di Indonesia, YPTD, Jakarta, 2022.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H