Mohon tunggu...
Syaiful W. HARAHAP
Syaiful W. HARAHAP Mohon Tunggu... Blogger - Peminat masalah sosial kemasyarakatan dan pemerhati berita HIV/AIDS

Aktivis LSM (media watch), peminat masalah sosial kemasyarakatan, dan pemerhati (berita) HIV/AIDS

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Pilihan

Pendidikan Dasar yang Gratis adalah Hak Anak yang Merupakan Amanah UUD 1945

21 Juni 2024   05:09 Diperbarui: 21 Juni 2024   15:28 93
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi (Sumber: rri.co.id)

Di setiap awal tahun ajaran baru tidak sedikit orang tua yang kelimpungan karena anaknya tidak diterima di sekolah negeri untuk pendidikan dasar yaitu SD/SMP serta Madrasah/Tsanawiyah.

Maka, mereka terpaksa merogoh kocek untuk membiayai pendidikan dasar anak-anaknya di sekolah swasta.

Padahal, secara universal jika seorang anak lahir, maka dia mempunyai hak yang wajib dipenuhi oleh negara (baca: pemerintah) yaitu: identitas (akte lahir dan kartu tanda penduduk/KTP), imunisasi dasar dan pendidikan dasar 9 tahun (SD dan SMP).

Dalam UUD 1945 Pasal 31 disebutkan:

Ayat 1: Setiap warga negara berhak mendapatkan pendidikan

Ayat 2: Setiap warga negara wajib mengikuti pendidikan dasar dan pemerintah wajib membiayainya

Itu artinya jika ada warga negara, dalam hal ini anak, yang tidak menikmati pendidikan dasar yang dibiayai olen pemerintan alias gratis menunjukkan pemerintah alpa (KBBI: lalai dalam kewajiban; kurang mengindahkan; kurang memperhatikan; lengah). 

Berdasarkan data Susenas yang diolah Bappenas tahun 2022, anak usia sekolah (7-18 tahun) yang tidak bersekolah mencapai 4.087.288 anak. Angka tersebut dinilai meningkat jika dibandingkan dengan 3.939.869 anak pada tahun 2021. Lebih lanjut disebutkan: Anak putus sekolah tahun 2022 491.311. Selain itu 252.991 anak putus sekolah di tengah jenjang dan 238.320 anak usia sekolah yang tidak melanjutkan ke jenjang pendidikan yang lebih tinggi pada tahun ajaran baru. Kemudian, 3.356.469 anak usia sekolah tercatat sudah drop out pada tahun-tahun ajaran sebelumnya (dpr.go.id, 2/11/2023)

Dengan kondisi pemerintah yang tidak terpusat lagi saat ini karena daerah, dalam hal ini provinsi, kabupaten dan kota sudah merupakan daerah otonom yang dikenal sebagai otonomi daerah (Otda) perlu penjabaran tentang biaya pendidikan dasar yang gratis.

Selayaknya daerah otonom juga wajib membiayai pendidikan dasar bagi warganya. Dalam kaitan ini proporsi penggunaan dana melalui APBD (Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah) wajib menyediakan dana agar anak bisa mengikuti pendidikan dasar yang gratis.

Solanya, sudah jamak terjadi ada anak yang tidak bersekolah pada tingkat pendidikan dasar (SD dan SMP serta Madrasah dan Tsanawiyah) negeri yang gratis. Akibatnya, mereka harus bersekolah di SD dan SMP serta Madrasah dan Tsanawiyah swasta yang tidak gratis sehingga jadi beban orang tua.

Tentu saja dengan kondisi masyarakat Indonesia yang masih banyak di bawah garis kemiskinan jadi beban yang berat. Jumlah penduduk miskin pada Maret 2023 sebesar 25,90 juta (bps.go.id, 17/7/2023).Kemiskinan jadi faktor utama yang meningkatkan jumlah anak yang tidak bersekolah dan drop out (putus sekolah) serta lulus tidak melanjutkan (dalam hal ini dari SD ke SMP).

Nah, ketika ada anak usia di bawah 16 tahun tidak bersekolah atau putus sekolah menunjukkan pemerintah alpa dengan mengabaikan kewajibannya memenuhi hak warga negara, dalam hal ini anak berumur di bawah 16 tahun.

Beban orang tua kian berat ketika pemerintah, dalam hal ini sekolah, mewajibkan anak memakai seragam yang berbeda setiap hari selama sepekan. Misalnya, pakain seragam sekolah: SD merah putih dan SMP putih biru tua; pakain pramuka; pakaian olahraga dan pakaian identitas agama serta sepatu.

Sejatinya, seperti pernah disampaikan oleh (Alm) Prof Dr Fuad Hassan (Mendikbud priode 1985-1993) pakaian dan sepatu bukan bagian dari proses belajar di kelas sekolah formal. Ketika itu beliau menyebutkan: telanjang dada dan kaki ayampun tidak boleh dilarang masuk ke kelas untuk belajar!

Selain pakain seragama orang tua pun menghadapi beban untuk membeli pakaian dan sepatu baru di kala Lebaran, dalam hal ini Idulfitri.

Beban orang tua kian banyak ketika sekolah mewajibkan murid ikut study tour atau kegiatan lain di luar sekolah. Padahal, fakta menunjukkan study tour tidak banyak manfaatnya bahkan ada mudaratnya, seperti kecelakaan yang merenggut nyawa guru dan murid.

Kalau saja tidak ada seragam sekolah, maka pakaian  Lebaran bisa dipakai ke sekolah yang merupakan bagian dari penghematan pengeluaran orang tua. *

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun