Belakangan ini tidak sedikit media massa (surat kabar, majalah, radio dan TV) serta media online (portal berita) yang menyajikan laporan berupa berita kejahatan atau kriminal [KBBI: berkaitan dengan kejahatan (pelanggaran hukum) yang dapat dihukum menurut undang-undang; pidana] mulai dari motif sampai kronologi (KBBI: urutan waktu dari sejumlah kejadian atau peristiwa) secara rinci.
Seperti yang dilakukan oleh sebuah stasiun TV swasta nasional di Jakarta (10/6/2024) pagi yang melaporkan pembunuhan seorang anggota polisi di Mojokerto, Jawa Timur (Jatim) oleh istrinya yang juga seorang Polwan. Reporter TV itu menceritakan mulai dari pelaku membeli bensin dan seterusnya. Ini sama saja dengan reporter tersebut melakukan pembunuhan itu tapi melalui narasi dan gambar.
Sumber berita tersebut terutama dari polisi, pengacara dan sumber-sumber lain serta liputan wartawan.
Dalam kaidah jurnalistik membeberkan motif dan kronologi kejahatan secara telanjang dengan rinci merupakan perbuatan lapis kedua (the second rape pada berita kejahatan seksual dan the second murder pada pembunuhan) yang dilakukan media sama saja dengan yang dilakukan oleh pelaku, hanya saja tidak dilakukan secara fisik, tapi melalui tulisan (media cetak dan blog) serta gambar dan suara (media audio visual) juga film.
Baca juga: Wartawan Sebagai Pelaku "The Second Rape" dalam Berita Perkosaan dan "The Second Rape" dalam Berita di Kompas.com
Ada anggapan bahwa berita kriminal, terutama yang memaparkan motif dan kronologi, bisa menaikkan oplah dan rating. Sehingga tidak sedikit pengelola media yang tidak memahami etika jurnalistik dengan menganggap berita-berita yang sensasional dan bombastis merupakan bagian dari kekuatan media. “Itu salah,” kata Bang Hadi, Ashadi Siregar, novelis (trilogi Cintaku di Kampus Biru), yang juga Direktur LP3Y Yogyakarta, dalam berbagai kesempatan pada pelatihan wartawan.
Bang Hadi melanjutkan: Kalau benar media itu kuat (maksudnya media yang memuat atau menyiarkan berita kriminal yang sensational dan bombastis-Pen.), kita uji saja: "Media macam apa yang menggaji wartawannya dengan baik: Media dengan berita yang sensaional dan bombastis atau media dengan berita yang memegang teguh etika jurnalistik?"
Pemberitaan kejahatan seksual dan kriminalitas belakangan ini bukan bikin jera, tapi yang terjadi justru peniruan dan pengulangan (replikasi dan duplikasi) kejahatan seksual dan kriminalitas yang sudah pernah terjadi yang diberitakan sebagian media massa dan media online secara 'telanjang' (naked news) yaitu membeberkan motif dan krinologi kejadiannya.
Terkait dengan berita kejahatan seksual dan criminal polisi dan wartawan menempatkan diri mereka sebagai "pelaku lapis kedua" dengan menceritakan kejadian perkosaan dan kriminal tersebut secara rinci mulai dari motif dan kronologi.
Jika dilihat dari aspek relasi, maka polisi dan wartawan menempatkan diri sebagai subjek pada sisi yang berdaya atau mememang kendali (voice full dan power full), sedangkan korban diposisikan sebagai objek yang tidak berdaya atau tidak memegang kendali (voiceless dan power less).
Baca juga: Sebagian Media Melakukan "The Second Rape and Murder" terhadap Y di Bengkulu
Sejatinya polisi tidak perlu membeberkan motif dan kronologi karena hal itu bisa ditiru (replikasi dan duplikasi). Hal ini sudah terbukti.
Ketika ada berita tentang kasus mutilasi terhadap korban pembunuhan, belakangan terjadi kasus-kasus lain dengan mutilasi. Begitu juga dengan penemuan mayat di dalam koper, hal yang sama terus berulang sebagai modus kejahatan.
Sudah saatnya polisi membuat aturan baku tentang batas penyampaian informasi kejahatan ke publik melalui media. Motif, modus dan kronologi cukup dibeberkan oleh jaksa di sidang pengadilan sebagai bagian dari pembuktian secara hukum.
Misalnya, polisi cukup menyebut motifnya, misalnya karena dendam, tanpa harus merinci dendam dan cara pelaku melampiaskan dendamnya yang dijadikan pelaku sebagai alasan untuk pembenaran kejahatan yang dilakukannya.
Begitu juga pada kasus kejahatan seksual, seperti perkosaan, polisi tidak perlu memaparkan motif dan kronologinya. Cukup dengan menyebut terjadi kekerasan seksual dalam bentuk pemerkosaan.Titik! *
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H