Jika dilihat dari aspek relasi, maka polisi dan wartawan menempatkan diri sebagai subjek pada sisi yang berdaya atau mememang kendali (voice full dan power full), sedangkan korban diposisikan sebagai objek yang tidak berdaya atau tidak memegang kendali (voiceless dan power less).
Baca juga: Sebagian Media Melakukan "The Second Rape and Murder" terhadap Y di Bengkulu
Sejatinya polisi tidak perlu membeberkan motif dan kronologi karena hal itu bisa ditiru (replikasi dan duplikasi). Hal ini sudah terbukti.
Ketika ada berita tentang kasus mutilasi terhadap korban pembunuhan, belakangan terjadi kasus-kasus lain dengan mutilasi. Begitu juga dengan penemuan mayat di dalam koper, hal yang sama terus berulang sebagai modus kejahatan.
Sudah saatnya polisi membuat aturan baku tentang batas penyampaian informasi kejahatan ke publik melalui media. Motif, modus dan kronologi cukup dibeberkan oleh jaksa di sidang pengadilan sebagai bagian dari pembuktian secara hukum.
Misalnya, polisi cukup menyebut motifnya, misalnya karena dendam, tanpa harus merinci dendam dan cara pelaku melampiaskan dendamnya yang dijadikan pelaku sebagai alasan untuk pembenaran kejahatan yang dilakukannya.
Begitu juga pada kasus kejahatan seksual, seperti perkosaan, polisi tidak perlu memaparkan motif dan kronologinya. Cukup dengan menyebut terjadi kekerasan seksual dalam bentuk pemerkosaan.Titik! *
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H