Mohon tunggu...
Syaiful W. HARAHAP
Syaiful W. HARAHAP Mohon Tunggu... Blogger - Peminat masalah sosial kemasyarakatan dan pemerhati berita HIV/AIDS

Aktivis LSM (media watch), peminat masalah sosial kemasyarakatan, dan pemerhati (berita) HIV/AIDS

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Media Audio Visual Tidak Mendukung Program Peningkatan Literasi di Indonesia

9 Juni 2024   15:00 Diperbarui: 9 Juni 2024   15:09 85
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi (Sumber: globalcitizenshipfoundation.org)

Form pendaftaran sebuah acara secara online mewajibkan akun Tik Tok dan jumlah pengikut. Ini terjadi belakangan ini karena sebelumnya hanya diminta akun X (d/h. Twitter) dan Instagram.

Agaknya, penyelenggara acara sekarang ini lebih memilih media audio visual, terutama Tik Tok, daripada media cetak berupa laporan tertulis di media cetak, media online dan blog.

Media audio visual disampaikan oleh sumber ke penerima melalui gambar dan suara sehingga penerima tidak perlu memusatkan perhatian untuk membaca karena mereka hanya mengandalkan pendengaran dan penglihatan.

Maka, kalangan ibu-ibu rumah tangga bisa menikmati siaran audio visual, seperti Sinetron, sambil memasak di dapur atau menyeterika pakaian.

Itulah sebabnya Sinetron dan Telenovela (drama televisi Amerika Latin dengan bahasa Spanyol) serta infotainment yang mendorong rating siaran TV.

Baca juga: Menyoal Nilai Berita pada Acara Infotainment di Televisi

Siaran audio visual yang hanya mengandalkan pendengaran dan penghilatan bisa sambil lalu meminggirkan media cetak yang pada akhirnya menurunkan minat baca.

Terkait dengan minat baca berdasarkan survei yang dilakukan oleh Program of International Student Assessment (PISA) pada tahun 2019, minat baca Indonesia menempati peringkat ke-62 dari 70 negara. Dengan kata lain, Indonesia masuk dalam bagian 10 negara yang memiliki tingkat literasi terendah di antara negara-negara yang disurvei (balaibahasasumut.kemdikbud.go.id, 7/9/2023).

Berdasarkan laporan riset Central Connecticut State University di 2016, Indonesia menduduki peringkat ke-60 dari 61 negara dengan tingkat literasi rendah. Sedangkan data statistik dari The United Nations Educational, Scientific, and Cultural Organization (UNESCO) menyatakan minat baca masyarakat Indonesia, sangat memprihatinkan, yaitu hanya 0,001 persen (kompas.com, 11/7/2023).

Padahal, pemaparan informasi jauh lebih komprehensif melalui media cetak daripada media audio visual. Tapi, karena membaca harus memusatkan perhatian dengan mengandalkan penglihatan dan pikiran kian banyak yang berpaling ke audio visual.

Celakanya, audio visual termasuk kategori filming society (masyarakat penggemar film) yang merupakan tahap ketiga dari literasi.

Baca juga: Televisi Mengubah Media Habit Masyarakat*

Awal literasi dimulai dengan reading society (masayarakat yang gemar membaca) yang ditandai dengan tingkat pembelian buku atau kunjungan ke perpustakaan.

Selanjutnya writing society (masyarakat yang gemar menulis, dalam hal ini bisa menulis cerita, kisah, esai atau artikel).

Di masyarakat dengan literasi yang baik yaitu sudah melewati reading society dan writing society barulah masuk ke ranah filming society.

Celakanya, di Indonesia kondisi literasi masyarakat belum mencapai reading society dan writing society melompat ke filming society, yaitu lebih memilih media audio visual.

Kehadiran telepon pintar atau telepon seluler (Ponsel) yang bisa menampilkan audio visual kian merusak literasi masyarakat. Kecandungan warga Indonesia terhadap Internet nomor satu di dunia yaitu rata-rata 6 jam 5 menit setiap hari di depan layar Ponsel, tablet atau komputer dan laptop. Tapi, ironisnya literasi pelajar ada di nomor lima dari bawah.

Baca juga: Ironis Warga Indonesia Kecanduan Ponsel Paling Top di Dunia tapi Literasi Pelajar Nomor 5 dari Bawah

Semula digembar-gemborkan penikmat Ponsel dan tablet menjadikan gadget itu sebagai tempat untuk membaca buku, semisal e-book. Tapi, dengan kondisi tingkat literasi pelajar yang ada di urutan lima terbawah timbul pertanyaan: Apa yang dilakukan pengguna Ponsel dan tablet selama 6 jam 5 menit setiap hari?

Bisa jadi waktu di depan layan Ponsel dan tablet dipakai untun chatting di media sosial, seperti Facebook, X (d/h. Twitter), Instagram, Grup WhatsApp (WA) dan Tik Tok.

Itu artinya literasi di Indonesia kian terpuruk dan kelak ada di titik nadir. *

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun