Mohon tunggu...
Syaiful W. HARAHAP
Syaiful W. HARAHAP Mohon Tunggu... Blogger - Peminat masalah sosial kemasyarakatan dan pemerhati berita HIV/AIDS

Aktivis LSM (media watch), peminat masalah sosial kemasyarakatan, dan pemerhati (berita) HIV/AIDS

Selanjutnya

Tutup

Healthy Pilihan

Kesembuhan Penyakit dengan Nama Terminologi Medis Harus Dibuktikan dengan Diagnosis Bukan dengan Testimoni

4 Juni 2024   20:53 Diperbarui: 4 Juni 2024   20:55 89
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Di tahun 1990-an sebuah acara infotainment di salah satu stasiun TV swasta nasional menampilkan sosok seorang pemuda yang disebut sebagai 'pengidap HIV/AIDS.'

Harap maklum ketika itu HIV/AIDS masih di ranah kehebohan karena sebelumnya pemerintah selalu membantah ada HIV/AIDS di Indonesia.

Host acara itu menyebutkan ciri-ciri penyakit pemuda itu antara lain lemas yang ketika itu dikaitkan dengan ciri pengidap HIV/AIDS.

Tapi, apa lacur ternyata pemuda itu pasien Prof Beri (Prof dr Zubairi Djoerban, SpPD-KHOM) di RSCM-FKUI, Jakarta Pusat, dengan diagnosis hepatitis B. Memang, gejala hepatitis B mirip dengan gejala infeksi HIV/AIDS.

Tapi, ada catatan yaitu gejala tersebut bisa terkait dengan HIV/AIDS jika yang bersangkutan pernah atau sering melakukan perilaku seksual berisiko tinggi tertular HIV/AIDS. Yaitu pernah atau sering melakukan hubungan seksual tanpa kondom di dalam dan di luar nikah dengan pasangan yang berganti-ganti atau dengan seseorang yang sering ganti-ganti pasangan, seperti pekerja seks komersial (PSK) yang sekarang disebut prostitusi online karena lokalisasi pelacuran tidak ada lagi sejak reformasi.

Sayang, stasiun TV itu memberikan klarifikasi tengah malam sedangkan tayangan testimoni (pengakuan) pemuda itu pada jam tayang prime time. Akibatnya, banyak pemirsa yang menonton testimoni pemuda itu tidak mengikuti klarifikasi tayangan yang menyesatkan tersebut.

Itulah sebabnya (Alm) dr Kartono Mohamad, pernah jadi Ketua Uum PB IDI, dalam beberapa pertemuan untuk wawancara dan kegiatan lain selalu mengingatkan bahwa semua jenis penyakit yang memakai nama terminologi medis harus diperlakukan sebagai fakta medis yaitu diuji di laboratorim dengan teknologi kedokteran dengan diagnosis medis pula oleh dokter bukan dengan testimoni.

Itu artinya jika seseorang mengatakan dia mengidap penyakit X (terminologi medis) harus ada hasil laboratorium atau dengan diagnosis medis oleh dokter yang mempunyai kompetensi.

Begitu juga kalau seseorang mengatakan sembuh dari penyakit Y (terminologi medis), maka harus dibuktikan dengan hasil laboratorium dengan diagnosis medis oleh dokter yang mempunyai kompetensi bukan dengan testimoni.

Belakangan ini marak di media massa, terutama TV, media online dan media sosial yang menampilkan testimoni terkait dengan kesembuhan penyakit yang merupakan ranah medis.

Sebagai pengasuh rubrik Tanya-Jawab HIV/AIDS di beberapa media cetak, sebelum kehadiran media online dan media sosial, penulis sering menerima e-mail (waktu itu belum ada telepon pintar atau Ponsel yang bisa mengirim teks) yang mengatakan ramuannya bisa mengobati HIV/AIDS dengan menyebutkan orang-orang yang mengidap HIV/AIDS yang meminum ramuannya tidak lagi mengalam gejala-gejala yang disebut sebagai gejala HIV/AIDS.

Ketika pengirim e-mail ditanya apakah orang-orang yang disebut mengidap HIV/AIDS itu pernah menjalani tes HIV, tidak ada lagi balasan.

Itu terjadi karena selama ini banyak berita dan artikel baik di media massa, media online dan media sosial yang menyebut-nyebut tanda-tanda, ciri-ciri dan gejala-gejala yang terkait dengan HIV/AIDS.

Baca juga: Gejala HIV/AIDS Tidak Otomatis Membuktikan Sudah Tertular HIV/AIDS

Celakanya, dalam berita dan artikel tesebut tidak disebutkan syarat yang harus dipenuhi agar tanda-tanda, ciri-ciri dan gejala-gejala tersebut memang terkait dengan HIV/AIDS.

Yang lebih bikin celaka adalah orang-orang dengan perilaku seksual berisiko tinggi tertular HIV/AIDS merasa tidak tertular HIV/AIDS karena tidak mengalami tanda-tanda, ciri-ciri dan gejala-gejala yang disebut terkait dengan HIV/AIDS.

Baca juga: Informasi tentang Ciri HIV yang Menakutkan Sekaligus Menyesatkan

Tanda-tanda, ciri-ciri dan gejala-gejala tersebut bisa terkait dengan HIV/AIDS jika orang tersebut sudah menjalani tes HIV dengan hasil reaktif (positif). Kalau hasil tes HIV nonreaktif (negatif) maka tanda-tanda, ciri-ciri dan gejala-gejala tersebut sama sekali tidak terkait dengan infeksi HIV/AIDS. ||

* Kompasianer ini penulis buku: (1) Pers Meliput AIDS, Ford Foundation-Pustaka Sinar Harapan, Jakarta, 2000; (2) Kapan Anda Harus Tes HIV?, LSM InfoKespro, Jakarta, 2002; Menggugat Peran Media dalam Penanggulangan HIV/AIDS di Indonesia, YPTD, Jakarta, 2012.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Healthy Selengkapnya
Lihat Healthy Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun