Mohon tunggu...
Syaiful W. HARAHAP
Syaiful W. HARAHAP Mohon Tunggu... Blogger - Peminat masalah sosial kemasyarakatan dan pemerhati berita HIV/AIDS

Aktivis LSM (media watch), peminat masalah sosial kemasyarakatan, dan pemerhati (berita) HIV/AIDS

Selanjutnya

Tutup

Healthy Artikel Utama

Hanya Orang per Orang yang Bisa Memutus Mata Rantai Penularan HIV/AIDS Melalui Hubungan Seksual

3 Juni 2024   08:41 Diperbarui: 23 Juni 2024   19:35 586
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sejak pemerintah mengakui ada kasus HIV/AIDS di Indonesia di tahun 1988, padahal epidemi HIV/AIDS sudah mendunia sejak tahun 1981, program penanggulangan hanya parsial dengan membalut materi komunikasi, informasi dan edukasi (KIE) tentang HIV/AIDS dengan norma, moral dan agama.

Laporan resmi pemerintah, dalam hal ini Kemenkes melalui Website HIV PIMS Indonesia, jumlah kumulatif kasus HIV/AIDS baru sampai 31 Maret 2023 yaitu 672.266 yang terdiri atas 522.687 HIV dan 149.579 AIDS.

Baca juga: Menyoal Kapan Kasus HIV/AIDS Pertama Ada di Indonesia

Akibatnya, informasi tentang HIV/AIDS yang merupakan fakta medis (bisa diuji di laboratorium dengan teknologi kedokteran), tapi yang sampai ke masyarakat justru sebagai mitos (anggapan yang salah).

Misalnya, materi KIE tentang cara penularan HIV/AIDS selalu dikait-kaitkan dengan zina, pelacuran, selingkuh, gay (homoseksualitas), 'seks bebas' (istilah ini ngawur) dan lain-lain.

Baca juga: Kasus HIV/AIDS pada Remaja Akibat Materi KIE HIV/AIDS yang Hanya Mitos

Padahal, secara empiris dengan bertumpu pada fakta medis penularan HIV/AIDS melalui hubungan seksual (bisa) terjadi bukan karena sifat hubungan seksual [zina, pelacuran, selingkuh, gay (homoseksualitas), 'seks bebas' (istilah ini ngawur) dan lain-lain], tapi karena kondisi saata terjadi hubungan seksual, di dalam dan di luar nikah, yaitu salah satu atau kedua pasangan tersebut mengidap HIV/AIDS dan laki-laki tidak memakai kondom selama terjadi hubungan seksual. Ini fakta medis!

Matriks: Sifat Hubungan Seksual dan Kondisi Hubungan Seksual Terkait Risiko Penularan HIV/AIDS. (Foto: Dok/AIDS Watch Indonesia/Syaiful W. Harahap)
Matriks: Sifat Hubungan Seksual dan Kondisi Hubungan Seksual Terkait Risiko Penularan HIV/AIDS. (Foto: Dok/AIDS Watch Indonesia/Syaiful W. Harahap)

Maka, seseorang berisiko tertular HIV/AIDS melalui hubungan seksual, di dalam dan di luar nikah, jika melakukan perilaku seksual yang berisiko, yaitu:

(1). Laki-laki dewasa heteroseksual yang pernah atau sering melakukan hubungan seksual penetrasi (seks vaginal, seks anal dan seks oral), di dalam nikah, dengan perempuan yang berganti-ganti yang tidak diketahui status HIV-nya dengan kondisi laki-laki tidak memakai kondom,

(2). Perempuan dewasa heteroseksual yang pernah atau sering melakukan hubungan seksual penetrasi (seks vaginal, seks anal dan seks oral), di dalam nikah, dengan laki-laki yang berganti-ganti yang tidak diketahui status HIV-nya dengan kondisi laki-laki tidak memakai kondom,

(3). Laki-laki dewasa heteroseksual yang pernah atau sering melakukan hubungan seksual penetrasi (seks vaginal, seks anal dan seks oral), di luar nikah, dengan perempuan yang berganti-ganti yang tidak diketahui status HIV-nya dengan kondisi laki-laki tidak memakai kondom,

(4). Perempuan dewasa heteroseksual yang pernah atau sering melakukan hubungan seksual penetrasi (seks vaginal, seks anal dan seks oral), di luar nikah, dengan laki-laki yang berganti-ganti yang tidak diketahui status HIV-nya dengan kondisi laki-laki tidak memakai kondom,

(5). Laki-laki dewasa heteroseksual yang pernah atau sering melakukan hubungan seksual penetrasi (seks vaginal, seks anal dan seks oral) dengan perempuan yang sering berganti-ganti pasangan, dalam hal ini pekerja seks komersial (PSK) langsung dan PSK tidak langsung, cewek prostitusi online, yang tidak diketahui status HIV-nya dengan kondisi laki-laki tidak memakai kondom, 

(6). Laki-laki dewasa heteroseksual yang pernah atau sering melakukan hubungan seksual penetrasi (seks anal dan seks oral) dengan waria yang tidak diketahui status HIV-nya. Sebuah studi di Kota Surabaya tahun 1990-an menunjukkan pelanggan waria kebanyak laki-laki beristri. Mereka jadi 'perempuan' ketika seks denga waria (ditempong), sedangkan waria jadi 'laki-laki' (menempong),

(7). Perempuan dewasa heteroseksual yang pernah atau sering melakukan hubungan seksual penetrasi (seks vaginal, seks anal dan seks oral) dengan waria heteroseksual yang tidak diketahui status HIV-nya dengan kondisi waria tidak memakai kondom,

(8). Perempuan dewasa heteroseksual yang pernah atau sering melakukan hubungan seksual penetrasi (seks vaginal, seks anal dan seks oral) dengan gigolo yang tidak diketahui status HIV-nya dengan kondisi gigolo tidak memakai kondom,

(9). Laki-laki dewasa homoseksual yang pernah atau sering melakukan hubungan seksual penetrasi (seks anal dan seks oral) dengan pasangan yang berganti-ganti yang tidak diketahui status HIV-nya dengan kondisi yang menganal tidak memakai kondom, 

Itu artinya mencegah penularan HIV/AIDS melalui hubungan seksual hanya bisa dilakukan oleh orang per orang karena faktor risikonya ada di ranah privat yang tidak bisa diintervensi oleh pemerintah.

Seperti pada poin 1-9 di atas, bagaimana negara, dalam hal ini pemerintah, baik pusat maupun pemerintah provinsi, kabupaten dan kota bisa menghalangi atau melarang warga untuk melakukan hubungan seksual berisiko ini?

Jelas tidak bisa alias mustahil!

Maka, beberapa judul berita di bawah ini menunjukkan pemahaman yang sangat rendah terkait dengan risiko tertular HIV/AIDS melalui hubungan seksual.

Yang bisa dilakukan pemerintah hanyalah sebatas menurunkan (jumlah) insiden infeksi HIV baru, terutama pada laki-laki dewasa, melalui hubungan seksual dengan pekerja seks komersial (PSK) di lokalisasi pelacuran.

Langkah yang bisa dilakukan pemerintah adalah dengan memaksa laki-laki memakai kondom setiap kali melakukan hubungan seksual dengan PSK. Program ini menunjukkan hasil yang baik di Thailand yaitu jumlah kasus HIV/AIDS yang terdeteksi pada laki-laki calon taruna militer terus turun.

Yang perlu diingat program tesebut, di Thailand disebut 'wajib kondom 100 persen,' hanya bisa dijalankan jika praktek PSK dilokalisir.

Maka, program itu tidak bisa dijalankan di Indonesia karena sejak reformasi 1988 dengan pijakan moral semua tempat pelacuran, dalam hal ini lokalisasi pelacuran, ditutup di seluruh Indonesia.

Akibatnya, praktek pelacuran terjadi di sembarang tempat dan sembarang waktu yang belakangan dipicu oleh prostitusi online.

Dengan kondisi penanggulangan HIV/AIDS yang tidak konkret di Indonesia, maka bisa jadi akan terjadi 'ledakan AIDS' yang membawa negeri ini sebagai 'afrika kedua.' ||

* Syaiful W Harahap adalah penulis buku: (1) PERS meliput AIDS, Pustaka Sinar Harapan dan The Ford Foundation, Jakarta, 2000; (2) Kapan Anda Harus Tes HIV?, LSM InfoKespro, Jakarta, 2002; (3) AIDS dan Kita, Mengasah Nurani, Menumbuhkan Empati, tim editor, BPK Gunung Mulia, Jakarta, 2014; (4) Menggugat Peran Media dalam Penanggulangan HIV/AIDS di Indonesia, YPTD, Jakarta, 2022.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Healthy Selengkapnya
Lihat Healthy Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun