Ketika telepon seluler (Ponsel) atau handphone (HP) seakan sudah melekat pada diri setengah orang, muncul pertanyaan yang sangat mendasar: Mengapa ada pengguna Ponsel yang sangat menyebalkan karena mereka mengeraskan volume speaker di tempat umum?
Selain itu tidak sedikit pula pengguna Ponsel yang berbicara keras-keras di tempat umum, seperti di angkutan umum, pusat perbelanjaan, restoran, ruang tunggu pasien di rumah sakit (RS) dan tempat publik lain.
Di ruang tunggu pasien di sebuah rumah sakit umum daerah (RSUD) di Jakarta Timur, misalnya, seorang laki-laki setengah baya mengeraskan volume speaker ponselnya. Celakanya, lagu yang dia putar di Ponsel itu, maaf, justru lagu yang sering terdengar di, lagi-lagi maaf, l*k*l*s*s* p*l*c*r*n!
Di waktu lain, masih di RSUD itu, ada pula yang mengeraskan volume speaker Ponsel dengan lagu "Anak ayam turun.... " Busyet, dah ....
Di gerbong Commuterline Rangkasbitung-Merak dan sebaliknya (d/h. KA Ekonomi) selalu saja ada penumpang yang mengeraskan volume speaker Ponsel mereka dengan berbagai bunyi: lagu-lagu, siaran berita dan lain-lain.
Selain itu sudah jamak terjadi di tempat umum dan angkutan umum orang-orang yang berbicara dengan suara keras, bahkan dengan nada marah-marah, melalui Ponsel.
Itu artinya mereka tidak menjaga kerahasiaan percakapan atau bisa jadi mereka ingin orang lain mengetahui pembicaraan. Ini tentu saja sangat menyebalkan.
Pertanyaannya kemudian adalah: Mengapa mereka tidak memakai penyuara telinga seperti headset, earphone, headphone atau handsfree?
Agaknya, orang-orang tersebut merasa mereka tidak ada di sebuah lingkungan sosial dengan kehadiran orang lain. Hal ini terjadi karena secara sosial mereka terasing di social settings biarpun di media sosial mereka mempunyai banyak teman.
Mereka merasa tidak ada orang di sekitar mereka sehingga mereka merasa tidak ada yang terganggu ketika mereka mengeraskan volume speaker atau berbicara dengan suara keras di Ponsel.
Sejatinya, kalaulah meraka merupakan makhluk sosial tentulah mereka akan berpikir dua kali sebelum mengeraskan volume speaker Ponsel atau berbicara dengan keras melalui Ponsel di tempat-tempat umum (public sphere).
Bisa jadi karena tidak ada yang mengusik mereka justru kian merasa mereka justru terasingkan dari orang-orang yang hadir secara fisik di sekitarnya. Padahal, secara realitas mereka sema sekali tidak terasing atau terisolasi dari lingkungan sekitarnya.
Kecanduan terhadap Ponsel merupakan masalah terkait dengan kesehatan mental yang serius. Laporan State of Mobile 2024 (data.ai) menunjukkan warga Indonesia, data tahun 2023, ada di peringkat pertama kecanduan Internet di dunia yang menghabiskan waktu 6 jam 5 menit setiap hari di layar Ponsel atau tablet.
Baca juga: Candu Baru Itu Bernama Media Sosial
Aspek psikologi di balik kecanduan Ponsel terjadi karena otak menerima sensasi yang menyenangkan ketika menerima notifikasi, pesan, atau mencontreng tada suka di platform media sosial. Penelitian di Jerman menunjukkan
Kecanduan Ponsel terkait pula dengan NOMOPHOBIA yaitu NO MObile PHOne PhoBIA yaitu kondisi psikologis seseorang yang ketakutan luar biasa ketika tidak terhubung dengan konektivitas Ponsel.
Para peneliti otak membuktikan bahwa mencontreng tanda "like" dan memberikan komentar di Facebook, Instagram atau TikTok menstimulasi pusat kebahagiaan di otak, mirip seperti makan, seks atau memakai Narkoba (narkotika dan bahan-bahan berbahaya) (DW, 13/10/2023).
NOMOPHOBIA bisa berdampak terhadap kadar dopamin di dalam tubuh (salah satu senyawa kimia organik berasal dari keluarga katekolamin dan fenetilamina. Dopamin berfungsi sebagai hormon dan neurotransmiter dan mempunyai peran penting di dalam tubuh dan otak-Wikipedia).
Kadar dopamin dalam tubuh terkait dengan penyakit yang bisa mengganggu kesehatan mental (dari berbagai sumber). *
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H