Sepanjang hari sejak Minggu (12/5/2024) stasiun-stasiun TV swasta nasional terus memberitakan banjir bandang di Sumatera Barat (Sumbar), tapi tidak ada jawaban atas pertanyaan ini: mengapa dan bagaimana banjir bandang dan lahar dingin Gunung Marapi itu menimbulkan korban jiwa yang banyak?
Sungai Ciliwung dengan hulu di kawasan Puncak, Jawa Barat (Jabar), yang membelah Jakarta juga membuat Jakarta banjir yang juga banjir kiriman, terutama di bantaran kali, tapi nir korban jiwa.
Mengapa hal itu terjadi?
Petugas di pintu air Katulampa, Bogor, Jabar, selalu mengirim kabar ke instansi terkait di Jakarta tentang tinggi muka air di bendungan itu. Tinggi muka air di pintu air itu menunjukkan risiko banjir kiriman melalui Ciliwung ke Jakarta dengan rentang waktu yang sudah diperhitungkan.
Dengan demikian warga yang tinggal di bantaran kali dan daerah lain yang berpotensi diterjang banjir kiriman menerima kabar sehingga mereka mengetahui kapan hulu air bah akan menerjang sehingga mereka mempersiapkan diri.
Memindahkan barang-barang berharga dari lantai dasar ke lantai dua atau ke tempat yang lebih aman agar terhindar dari banjir.
Warga yang rumahnya tidak mempunyai lantai dua akan segera mandah ke tempat yang sudah disedikan oleh instansi yang berwewenang.
Itu artinya barang-barang dan nyawa selamat dari amukan hulu air bah yang menerjang dari hulu (puncak) yang dibawa Ciliwung ke Jakarta.
Nah, pertanyaannya adalah: Apakah di hulu sungai-sungai yang berhulu di lereng Gunung Marapi ada alat deteksi dini terkait dengan muka air yang naik?
Jika ada alat untuk mendeteksi ketinggian air di hulu sungai-sungai yang hulunya di lereng Gunung Marapi tentulah bisa dikirim kabar ke daerah di aliran sungai-sungai itu tentang risiko banjir bandang dan lahar dingin, yang di sana disebut galodo, yaitu banjir yang disertai lumpur, kayu dan batu-batu besar yang menerjang secara mendadak.
Frasa 'secara mendadak' sejatinya tidak tepat kalau ada deteksi dini karena laju atau kecepatan galodo bisa dihitung secara matematis sehingga tidak menerjang dengan tiba-tiba (lagi).
Namun, bisa jadi warga tidak bisa memahami dengan pasti terkait dengan anjuran PVMBG (Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi - Kementerian ESDM) yang menyebut jarak aman sekian kilometer dari puncak Gunung Marapi.
Kalau saja PVMBG menyebut jarak aman sampai kampung, desa, kecamatan dan kabupaten atau kota tentulah warga jauh lebih paham.
Tsunami di Jepang bisa mencapai tinggi 10 meter dengan kecepatan bak kapal terbang, tapi korban manusia sedikit. Hal ini terjadi karena pemerintah Negeri Matahari Terbit itu melarang permukiman sampai lidah terjauh tsunami. Di wilayah jangkuan tsunami boleh buka usaha terkait pariwisata, tapi tidak boleh jadi permukiman.
Maka, biarpun tsunami menerjang di kawasan yang dilanda tsunami tidak ada warga yang bermukim sehingga korban nyawa sedikit.
Kalau saja sejak awal pemerintah daerah, dalam hal ini pemerikan kabupaten dan kota, yang masuk wilayah galodo membuat aturan seperti di Jepang tentulah korban nyawa bisa ditekan. Apalagi ada peringatan dini korban bisa nol. *
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H