Menukarkan uang lama dengan yang baru tentulah hal yang lumrah, tapi, realitas sosial di social settings menunjukkan kondisi itu bisa jadi penanda sebagai pembeda antara Si Kaya dan Si Miskin.
Baca juga: Yuppies di Indonesia Akankah Mereka Beralih ke Yippies?
Apa dan bagaimana cara seorang ayah atau ibu dari kalangan Si Miskin memberikan jawaban ketika ditanya anak-anaknya: Yah atau Bu, kapan kita menukarkan uang baru?
Pertanyaan itu bak sembilu yang menusuk kalbu yang mendorong tangisan dalam hati dan tetesan air mata karena tidak ada jawaban yang bisa diberikan orang tua dari kalangan Si Miskin kepada anak-anaknya.
Sementara itu kalangan Si Kaya pulang ke rumah membawa segepok lembaran uang kertas rupiah baru yang selanjutnya dipilah-pilah sebagai bagian untuk angpau atau salam tempel saat merayakan Idulfitri.
Agaknya, BI tidak melakukan rekayasa sosial dalam melayani warga dari kalangan Si Kaya yang menukarkan uang secara terbuka terkait dengan dampak buruknya.
Baca juga: Orang Tua Murid Terpaksa Beli Pakaian Seragam yang Bukan Bagian dari Proses Belajar
Kondisi itu bisa mendorong kecemburuan sosial yang tumbuh subur karena kelemahan sebagian orang yang tidak bisa menerima adanya perbedaan status dalam starata masyarakat. Pada gilirannya akan mendorong keresahan terpendam ibarat api dalam sekam. Ini bisa jadi pemantik perilaku beringas massa yang tidak terkendali di kemudian hari.
Ketika ada anjuran agar tidak melakukan perbuatan yang mengarah ke hedonisme* tapi di sisi lain media mempertontonkan warga menukarkan lembaran rupiah di tengah-tengah jeritan orang tua yang tidak bisa mempunyai uang untuk merayakan Idulfitri.
Jika ditilik dari aspek sosial penukaran uang secara terbuka juga sebagai bagian dari, maaf, perilaku hedonisme.
Alangkah arif dan bijaksana jika BI menyediakan bilik atau ruangan yang khusus untuk menukarkan uang lama jelang Idulfitri agar tidak demonstratif atau gebyah-uyah (menyamaratakan yang berbeda) di tengah-tengah deraan kemiskinan yang dihadapi sebagai besar keluarga di Tanah Air.