"Terima kasih, Oom. Itu bukan hak saya!" Itulah jawaban seorang anak muda di KRL relasi Jakarta-Bogor ketika saya tunjukkan tempat duduk kosong di samping saya.
Beberapa kali saya naik KRL Jakarta-Bogor dan sebaliknya tempat duduk prioritas justru sering kosong, pada waktu yang sama ada beberapa anak muda justru memilih berdiri, tentu saja sambil main Ponsel.
Kondisi itu berbeda jauh dengan KRL relasi Tanah Abang (Jakarta Pusat) -- Rangkasbitung (Banten), Duri (Jakarta Barat) -- Tangerang (Banten) serta Jakarta -- Bekasi/Cikarang (Jabar) dan sebaliknya. Juga kereta api (KA) Ekonomi, sekarang jadi Commuterline, Rangkasbitung-Merak (Banten).
Beberapa kali saya naik KRL Tanah Abang-Rangkasbitung dan sebaliknya tempat duduk prioritas justru ditempati oleh penumpang yang tidak sesuai dengan pertuntukan seperti yang tertera: Lansia, disabilitas, perempuan hamil, dan ibu dengan bayi.
Commuter Line menerjemahkan women with infant menjadi ibu dengan anak. Maka, tidak mengherankan kalau ada ibu yang membawa dua anak sudah di atas lima tahun duduk bertiga di tempat duduk prioritas itu.
Sejatinya, ibu itu berdiri karena tidak sedang hamil. Biarlah anaknya yang duduk, berikan tempat duduk ke yang lebih berhak.
Suatu hari di KRL Rangkasbitung-Tanah Abang saya duduk di tempat duduk prioritas bersebelahan dengan seorang laki-laki yang dari tampangnya berumur muda. Di salah satu stasiun naik seorang ibu dengan anak perempuan berumur sekitar 6-7 tahun.
Ibu itu kemudian duduk di tengah dan putrinya berdiri. Laki-laki di sebelahnya tanpa ekspresi terus memainkan ponselnya mengabaikan anak perempuan yang berdiri di depannya.
"Kita juga bayar!" Ini yang dikatakan oleh beberapa penumpang KA Rangkas-Merak yang tidak kebagian tempat duduk alias mereka dapat karcis tanpa nomor tempat duduk tapi mereka duduk di tempat duduk yang masih kosong.