Mohon tunggu...
Syaiful W. HARAHAP
Syaiful W. HARAHAP Mohon Tunggu... Blogger - Peminat masalah sosial kemasyarakatan dan pemerhati berita HIV/AIDS

Aktivis LSM (media watch), peminat masalah sosial kemasyarakatan, dan pemerhati (berita) HIV/AIDS

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Tanpa Informasi tentang Mengapa dan Bagaimana IRT di Banten Tertular HIV/AIDS Dorong Stigma dan Diskriminasi

14 Januari 2024   11:46 Diperbarui: 14 Januari 2024   11:51 291
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Matriks: Penyebaran HIV/AIDS di Masyarakat Jika Suami IRT HIV+ Tidak Jalani Tes HIV (Sumber: Dok Pribadi/Syaiful W. Harahap)

"10 Bayi di Banten Positif HIV/AIDS, Tertular dari Ibu" Ini judul berita di regional.kompas.com (7/8/2023).

Dalam berita sama sekali tidak ada penjelasan mengapa dan bagaimana ibu-ibu yang melahirkan bayi dengan HIV/AIDS itu tertular HIV. Maka, berita ini menyudutkan dan mendorong stigma (cap buruk) serta diskriminasi (perlakuan berbeda) terhadap ibu-ibu yang melahirkan bayi dengan HIV/AIDS tersebut.

Secara empiris ibu-ibu itu yaitu ibu rumah tangga (IRT) tertular HIV/AIDS dari suaminya. Kalau informasi ini ada dalam berita maka tidak ada kesan buruk terhadap IRT yang melahirkan anak dengan HIV/AIDS.

Tapi, sayang seribu kali sayang dalam berita tidak ada penjelasan tentang mengapa dan bagaimana IRT itu tertular HIV.

Dalam berita disebutkan: Ati mengatakan, kebanyakan bayi yang tertular HIV dari ibunya, terjadi sejak di dalam kandungan. Hal ini bisa terjadi karena orangtuanya saat hamil sudah positif HIV dan tidak mendapatkan pengobatan.

Penularan HIV/AIDS dari ibu-ke-bayi yang dikandungnya tidak terjadi otomatis. Risiko paling besar adalah ketika persalinan dan menyusui dengan air susu ibu (ASI).

Disebutkan pula dalam berita: Untuk mengantisipasi kasus bayi dari ibu HIV/AIDS atau BIHA dilakukan upaya dengan mewajibkan kepada setiap ibu hamil untuk dilakukan pemeriksaan HIV.

Ada baiknya dinas-dinas kesehatan di provinsi, kabupaten dan kota mengubah paradigma berpikir dan menerapkan asa kesetaraan gender agar tidak terjadi diskriminasi.

Maka, yang menjalani konseling terlebih dahulu bukan ibu hamil, tapi suami dari ibu hamil. Jika hasil konseling menunjukkan perilaku seksual suami berisiko itu artinya suami diminta agar menjalan tes HIV. Nah, kalau hasil tes positif dilanjutkan dengan konseling dan tes HIV terhadap istrinya yang hamil.

Soalnya, program wajib tes HIV terhadap IRT hamil tidak dilanjutkan dengan tes HIV terhadap suami mereka sehingga suami-suami itu jadi mata rantai penyebaran HIV/AIDS di masyarakat, terutama melalui hubungan seksual tanpa kondom di dalam dan di luar nikah.

Bahkan, di Kabupaten Lebak, Banten, suami yang diberitahu istrinya yang melahirkan HIV-positif si suami kabur meninggal istrinya di rumah sakit dan anak-anaknya.

Baca juga: Kasus HIV/AIDS pada Ibu Rumah Tangga di Banten Tanpa Penjelasan Bagaimana Mereka Tertular
 
Jika dikaitkan dengan fakta 10 bayi lahir dengan HIV/AIDS, maka minimal ada 10 suami (baca: laki-laki) yang mengidap HIV/AIDS. Tapi, karena mereka tidak menjalani tes HIV maka mereka tidak mengakui bahwa mereka mengidap HIV/AIDS.

Matriks: Penyebaran HIV/AIDS di Masyarakat Jika Suami IRT HIV+ Tidak Jalani Tes HIV (Sumber: Dok Pribadi/Syaiful W. Harahap)
Matriks: Penyebaran HIV/AIDS di Masyarakat Jika Suami IRT HIV+ Tidak Jalani Tes HIV (Sumber: Dok Pribadi/Syaiful W. Harahap)

Akibatnya, mereka tidak menerapkan seks aman (memakai kondom setiap melakukan hubungan seksual di dalam dan di luar nikah) yang pada giliranya ada risiko menularkan HIV/AIDS kepada pasangan seksnya.

Itu artinya jumlah perempuan, bisa jadi IRT, di Banten yang berisiko tertular HIV/AIDS bertambah banyak. Soalnya, tidak sedikit laki-laki yang mempunyai istri sah lebih dari satu di samping pasangan seksual lain.

Disebutkan pula: Pelayanan saat ini, lanjut Ati, sudah bisa didapatkan di Puskemas terdekat. Total ada 98 layanan kesehatan yang tersebat di 8 kabupaten/kota di Banten.

Apakah ada warga yang dengan sukarela datang ke Puskesmas untuk konseling dan tes HIV?

Selama ini yang terjadi adalah warga yang konseling dan selanjutnya tes HIV jika perilaku seksualnya berisiko dibawa oleh penjangkau (outreach) yakni relawan yang biasanya bernaung di lembaga-lembaga swadaya masyarakat (LSM).

Tapi, sejak Indonesia masuk ke G-20 tidak bisa lagi menerima hibah (grant) dari donor-donor asing karena dikategorikan sebagai negara maju dengan pengahasil tinggi.

Sebelum Indonesia masuk G-20 ada saja donor asing yang menyalurkan dana ke LSM yang antara lain dipakai untuk program penjangkauan.

Dengan kondisi ini pemerintah, dalam hal ini dinas-dinas kesehatan, hanya pasif yaitu menunggu warga yang sakit parah, misalnya dengan penyakit TBC, dan IRT hamil yang kemudian menjalani tes HIV.

Pada saat yang sama warga, terutama laki-laki, yang mengidap HIV/AIDS tapi tidak terjangkau jadi mata rantai penyebaran HIV/AIDS bak 'bom waktu' yang kelak bermuara pada 'ledakan AIDS.' *

* Syaiful W Harahap adalah penulis buku: (1) PERS meliput AIDS, Pustaka Sinar Harapan dan The Ford Foundation, Jakarta, 2000; (2) Kapan Anda Harus Tes HIV?, LSM InfoKespro, Jakarta, 2002; (3) AIDS dan Kita, Mengasah Nurani, Menumbuhkan Empati, tim editor, BPK Gunung Mulia, Jakarta, 2014; (4) Menggugat Peran Media dalam Penanggulangan HIV/AIDS di Indonesia, YPTD, Jakarta, 2022.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun