Stigma dan diskriminasi ada di hilir yaitu terhadap warga yang mengidap HIV/AIDS (Odha-Orang dengan HIV/AIDS) dan hal itu terjadi karena identitas Odha bocor atau dibocorkan.
Maka, persoalan ada pada instansi atau institusi yang membocorkan identitas Odha atau warga yang terdeteksi HIV-positif.
Yang diperlukan bukan soal stigma dan diskriminasi, tapi bagaimana langkah konkret pemerintah setempat untuk menurunkan insiden infeksi HIV baru pada warganya. Itu artinya perlu program penanggulangan di hulu. Celakanya, hal ini tidak muncul dalam berita.
Sedangkan dalam berita "Hari AIDS Sedunia 2023, Kota Bandung Targetkan Nol Kasus dan Tanpa Stigma" (bandung.go.id, 2/12-2023) tidak ada langkah konkret yang dijalankan untuk mencapai 'nol kasus dan tanpa stigma.'
Baca juga: Mustahil Bisa Nol Kasus HIV/AIDS di Kota Bandung pada Tahun 2030
Kalau hanya menggandeng komunitas terdampak HIV/AIDS yaitu Odha itu hanya di hilir, sementara itu di hulu insiden infeksi HIV baru, terutama pada laki-laki melalui perilaku seksual berita terus terjadi.
Laki-laki yang (baru) tertular HIV/AIDS dan belum terdeteksi jadi mata rantai penyebaran HIV/AIDS di masyarakat, terutama melalui hubungan seksual tanpa kondom di dalam dan di luar nikah, tanpa mereka sadari.
Hal itu terjadi karena tidak ada tanda-tanda, gejala-gejala atau ciri-ciri yang khas AIDS pada fisik dan keluhan kesehatan sebelum masa AIDS (secara statistik antara 5-10 tahun sejak tertular HIV jika tidak menjalani pengobatan dengan obat antiretroviral/ART).
Berita "Buka Seminar Hari AIDS Sedunia 2023, Wabup Banjar Ajak Tingkatkan Kesadaran Akan Ancaman HIV" (banjarmasin.tribunnews.com, 6/12-2023) hanya menyentuh persoalan di hilir yaitu penguatan bagi warga agar menerima pengobatan dengan ARV.
Pada saat yang sama insiden infeksi HIV baru, terutama pada laki-laki dewasa, terjadi di hulu sehingga beban di hilir akan terus bertambah dan tidak akan bisa menghentikan kasus HIV baru.