"Itu kirimian meleset, Pak," kata Pak Ajie. Rupanya, kiriman itu, jarum dengan panjang sekitar 7 cm, ditujukan ke tulang ekor.
"Kalau kena Bapak celaka," ujar Pak Ajie dengan nada pelan. Artinya, kalau tembakan itu kena ke tulang ekor tentulah, amit-amit, akan lumpuh.
"Tembakan" siang hari, beberapa hari sebelumnya, itu rupanya terhalang talas hijau sehingga meleset. Memang, sejak saya mengetahui jadi sasaran santet sebagai bagian dari korban pesugihan yang masuk 'daftar' tumbal saya meletakkan kelapa gading dan talas hitam di depan rumah.
Jarum itu ditembakkan dari jarak dekat, tapi syukurlah lolos dari bencana. Hanya saja jarum itu 'bersarang' di rusuk yang bisa saja digerakkan ke jantung.
Istri Pak Ajie menyiapkan bubur dedaunan yang dipetin di tepi jalan di desa itu.
Lepas lohor Pak Ajie menarik benda yang bersarang di rusuk kiri. Creeeeeeekkkkk .... ujung keris kecil Pak Ajie menyentuh benda yang ada di rusuk.
"Wah, ini susah," kata Pak Ajie. Rupanya, jarum itu dibengkokkan sehingga membenuk sudut siku-siku. Ini untuk menyulitkan kalau ditarik.
Benar saja jarum dengan ukuran sekitar 7 cm itu berbentuk siku. Jarum kelihatan masih baru dan tidak ada bekas dibakar untuk membengkokkannya.
Setelah jarum ditarik bernapas tidak lagi nyeri, tapi masih ada rasa nyeri. "Ya, beberapa hari ke depan baru hilang," kata Pak Ajie meningatkan.
Agaknya, serangan yang bertubi-tubi adalah untuk membuat celaka sehingga langkah mereka, yang membayar dukun untuk menyantet, lancar karena korban invalid.
Celakanya, bayak orang baik di lingkungan dan keluarga yang justru menyalahkan saya karena percaya. Yang ironis yang membayar dukun untuk menyantet saya justru dari kalangan keluarga dan mantan keluarga.