"Waspada! Kasus HIV AIDS di DKI Jakarta Melonjak Akibat Perilaku Menyimpang" Ini judul berita di tangerang.tribunnews.com (24/7-2023).
Judul berita ini mendorong stigmatitasi (cap buruk atau cap negatif) terhadap pengidap HIV/AIDS secara umum, terutama ibu-ibu rumah tangga yang tertular HIV/AIDS dari suaminya pada hubungan seksual di dalam ikatan pernikahan yang sah.
Ibu-ibu rumah tangga itu tidak melakukan 'perilaku menyimpang' ketika mereka melakukan hubungan seksual dengan suaminya. Selain itu warga yang HIV-positif melalui transfusi darah dan pemakaian jarum suntik secara bersama dengan bergiliran pada penyalahguna Narkoba (narkotika dan bahan-bahan berbahaya) juga sama sekali tidak melakukan 'perilaku menyimpang.'
Disebutkan dalam berita: Setiap tahun kasus HIV AIDS di DKI Jakarta terus mengalami peningkatan yang sangat luar biasa. Buat masyarakat tentu ini menjadi warning bersama untuk menghindari perilaku menyimpang.
Peningkatan apa dan seperti apa? Tidak jelas. Kalau yang dimaksud adalah peningkatan jumlah kasus kumulatif, maka sesuai dengan sistem pelaporan kasus HIV/AIDS di Indonesia secara kumulatif, maka tiap hari, tiap bulan dan tiap tahun jumlah kumulatif kasus HIV/AIDS akan terus meningkat (baca: bertambah).
Hal itu terjadi karena dalam sistem pelaporan kumulatif jumlah kasus lama ditambah dengan kasus baru, sementara kematian pengidap HIV/AIDS tidak dikurangi dari jumlah kasus kumulatif.
Ternyata jika disimak dalam berita itu yang disebut 'perilaku menyimpang' yaitu: Perilaku menyimpang seperti melakukan hubungan seksual dengan sesama jenis, memiliki resiko yang sangat tinggi untuk terkena penularan virus tersebut.
Pernyataan di atas (melakukan hubungan seksual dengan sesama jenis, memiliki resiko yang sangat tinggi untuk terkena penularan virus tersebut) ngawur karena risiko penularan HIV/AIDS melalui hubungan seksual bukan karena sifat hubungan seksual (sesama jenis), dalam hal ini homoseksual atau laki-laki gay, tapi karena kondisi saat terjadi 'hubungan seksual dengan sesama jenis' tersebut. Â
Artinya, salah satu atau keduanya mengidap HIV/AIDS dan yang menganal tidak memakai kondom. Ini fakta!
Kalau sepasang laki-laki gay dengan kondisi keduanya HIV-negatif melakukan hubungan seksual (seks anal), maka tidak ada risiko terjadi penularan HIV/AIDS. Ini juga fakta!
Disebutkan pula dalam berita: Jika memang harus jajan demi memenuhi kebutuhan biologis, harus menggunakan alat kontrasepsi agar aman dan terhindari dari HIV.
Tidak semua alat kontrasepsi (pencegah kehamilan) bisa dipakai untuk mencegah penularan HIV/AIDS, seperti pil KB, suntik KB dan IUD. Hanya kondom yang bisa dipakai untuk mencegah risiko penularan HIV/AIDS.
Ada lagi pernyataan: Sebelumnya, Dinas Kesehatan DKI Jakarta terus berupaya menekan angka penularan HIV AIDS demi mencapai target three zero.
Baca juga: Angan-angan Jakarta Bebas AIDS pada 2030
Celakanya, dalam berita tidak dijelaskan bagaimana cara Dinas Kesehatan DKI Jakarta mencegah insiden infeksi HIV baru, terutama pada laki-laki dewasa, melalui perilaku seksual berisiko, seperti hubungan seksual tanpa kondom dengan pekerja seks komersial (PSK).
Untuk saat ini lokalisasi pelacuran sudah pindah ke media sosial yang membuat transaksi dengan PSK terjadi melalui prostitusi online.
Pemberian obat antiretroviral (ARV) kepada warga yang terdeteksi HIV-positif adalah langkah di hilir yaitu diberikan kepada warga yang sudah tertular HIV/AIDS.
Sejatinya, dalam program penanggulangan HIV/AIDS yang diperlukan adalah langkah yang konkret di hulu yaitu menurunkan, sekali lagi hanya bisa menurunkan, jumlah insiden infeksi HIV baru, terutama pada laki-laki dewasa dengan intervensi yang memaksa laki-laki selalu memakai kondom jika melakukan hubungan seksual dengan PSK.
Tanpa program di hulu, maka insiden infeksi HIV baru, terutama pada laki-laki dewasa, akan terus terjadi.
Laki-laki yang tertular HIV/AIDS akan jadi mata rantai penyebaran HIV/AIDS di masyarakat, terutama melalui hubungan seksual tanpa kondom di dalam dan di luar nikah.
Hal itu bisa terjadi karena laki-laki yang tertular HIV/AIDS tidak menyadari dirinya mengidap HIV/AIDS karena tidak ada tanda-tanda, ciri-ciri atau gejala-gejala yang khas AIDS pada fisik dan keluhan kesehatan sebelum masa AIDS (secara statistik antara 5-15 tahun setelah tertular HIV jika tidak menjalani program pengobatan dengan obat antiretroviral/ART).
Penularan HIV/AIDS terjadi bagaikan 'bom waktu' yang kelak bermuara pada 'ledakan AIDS' di DKI Jakarta. *
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H