Mohon tunggu...
Syaiful W. HARAHAP
Syaiful W. HARAHAP Mohon Tunggu... Blogger - Peminat masalah sosial kemasyarakatan dan pemerhati berita HIV/AIDS

Aktivis LSM (media watch), peminat masalah sosial kemasyarakatan, dan pemerhati (berita) HIV/AIDS

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Gibran Jadi Cawapres Prabowo Bukan Politik Dinasti

21 Oktober 2023   13:13 Diperbarui: 21 Oktober 2023   13:17 439
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Menanggapi jalan politik Partai Golkar yang secara resmi melalui Rapat Pimpinan Nasional (Rapimnas) Partai Golkar, Sabtu (21/10-2023), yang mendukung Gibran Rakabuming Raka sebagai calon wakil presiden (Cawapres) sebagai pasangan Prabowo Subianto yang diusung koalasi jadi calon presiden (Capres) muncul kekhawatiran akan terjadi dinasti.

Sejak Gibran mencalonkan diri jadi Wali Kota Surakarta (Solo) terminologi dinasti mulai mencuat, tapi dengan kosa kata yang salah yaitu dinasti politik. Padahal, Bahasa Indonesia tidak mengenal hukum MD, yang dipakai adalah hukum DM sehingga yang tepat adalah politik dinasti.

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) daring disebutkan politik dinasti adalah suksesi pejabat yang dilanjutkan oleh kerabat pejabat yang berkuasa.

Nah, jika memakai nalar maka ketika Gibran terpilih jadi wali kota melalui pemilihan yang menerapkan asas Luber (langsung, umum, bebas dan rahasia) itu jelas bukan suksesi dari ayahnya yaitu Presiden Joko Widodo (Jokowi).

Maka, hujatan berupa memfitnah dengan politik dinasti merupakan perbuatan zalim [KBBI: (a) bengis; tidak menaruh belas kasihan; tidak adil; kejam dan (b) orang yang melakukan perbuatan aniaya yang merugikan dirinya sendiri dan/atau orang lain].

Sejak dilantik jadi Wali Kota Solo pada tanggal 26 Februari 2021, apakah ada keistimewaan yang dia terima dari Presiden Jokowi dalam menjalankan tugas sebagai wali kota?

Lagi pula sekarang ini 'kan ada di era otonomi daerah (Otda) yang diatur melalui UU yang menempatkan gubernur, bupati dan wali kota 'sejajar dengan presiden' kecuali dalam aspek hankam (pertahanan keamanan), moneter dan luar negeri. Jadi, tidak diperlukan bantuan presiden karena semua hal sudah diatur UU kecuali tiga hal tadi.

Baca juga: Tidak Ada Politik Dinasti di Indonesia

Secara empiris jika berpijak pada defenisi, maka tidak ada politik dinasti di Indonesia karena tidak gubernur, bupati atau wali kota yang menerima jabatan secara turun-temurun dari kakek, ayah atau ibunya.

Mereka semua memperoleh jabatan melalui pemilihan yang Luber. Bahkan, sebelum dilantik masyarakat mempunyai hak untuk menggugat melalui jalur hukum, dalam hal ini ke Mahkamah Konstitusi (MK). Presidenpun tidak bisa melalukan intervensi terhadap keputusan MK.

Kalau saja kita berpikir jernih yang kita lakukan bukan menghujat dengan memakai terminologi politik dinasti, tapi meningkatkan literasi politik masyarakat agar memahami baik-buruknya politik kekerabatan.

Namun, materi literasi bukan dengan orasi moral yang mengusung kezaliman, tapi memberikan fakta kerusakan sistem karena politik kekerabatan.

Ini memang perjalanan panjang, tapi dengan memberikan fakta kerusakan akibat politik kekerabatan secara objektif merupakan lompatan besar ke depan yang membuka mata hati masyarakat dalam memilih pejabat publik, dalam hal ini anggota legislatif (pusat dan daerah), gubernur, bupati dan wali kota.

Ketika tingkat literasi masyarakat sudah mumpuni, politik uang (KBBI: politik dengan menggunakan uang sebagai kekuatan) tidak lagi bisa diandalkan oleh kalangan berduit untuk memperoleh jabatan publik.

Yang bisa merusak literasi masyarakat terkait dengan politik kekerabatan dan politik uang adalah kemunafikan. Ketika orang lain melakukannya kita ribut, tapi di saat keluarga yang terlibat kita justru diam atau membelanya.

Selain itu sebelum memang kekuasaan mulut berbuih-buih mengecam korupsi, politik kekerabatan dan politik uang, tapi ketika sudah di tampuk kekuasaan justru melakukan hal tersebut.

Ini akan membuat masyarakat masa bodoh atau tidak perduli (lagi) dengan kerusakan yang ditimbulkan politik kekerabatan dan setengah orang akhirnya ikut arus yang bermuara pada kerusakan sistem kemasyarakatan sehingga kembali lagi ke kondisi awal tanpa pemahaman yang mumpuni tentang kerusakan akibat korupsi, politik kekerabatan dan politik uang. *

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun