Mohon tunggu...
Syaiful W. HARAHAP
Syaiful W. HARAHAP Mohon Tunggu... Blogger - Peminat masalah sosial kemasyarakatan dan pemerhati berita HIV/AIDS

Aktivis LSM (media watch), peminat masalah sosial kemasyarakatan, dan pemerhati (berita) HIV/AIDS

Selanjutnya

Tutup

Trip Pilihan

Tinggalkan Wisata Primitif Sekarang Juga Beralihlah ke Wisata Partisipatif

16 Oktober 2023   09:46 Diperbarui: 16 Oktober 2023   10:47 197
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) wisata adalah:

(a) bepergian bersama-sama (untuk memperluas pengetahuan, bersenang-senang, dan sebagainya); bertamasya

(b) piknik, dan

(c) aktivitas untuk bersenang-senang, memperluas pengetahuan, dan sebagainya, dilakukan dgn bepergian ke tempat tertentu, biasanya dengan bersama-sama; pariwisata

Di poin (c) wisata disebut memperluas pengetahuan. Tapi, celakanya tidak sedikit orang yang menjadi wisatawan tapi di tataran cara-cara yang tradisional atau primitif sehingga tidak menambah pengetahuan dan wawasan.

Jika Anda naik KRL dari Stasiun Tanah Abang (Jakarta Pusat) ke Rangkasbitung (Banten) di akhir pekan atau hari-hari libur banyak penumpang dengan memakai kaos seragam, sebagian membawa tongkat.

"Mau ke mana?"

Mereka akan serentak menjawab "Baduy"!

Memang cara termudah dan terdekat ke Baduy, masyarakat adat di Kabupaten Lebak, Banten, adalah dari Rangkasbitung. Ada yang menawarkan jasa berupa angkutan antar-jemput dan pemandu ke Baduy.

Tapi, sejauh ini apakah ada manfaat yang didapat oleh masyarakat adat (Baduy) dari kedatangan wisatawan?

Manfaat secara luas jelas tidak ada. Apalagi ada di antara wisatawan itu yang menempatkan diri sebagai orang yang ingin melihat masyarakat tradisional yang primitif.

Itu terjadi karena wisatawan memakai ukuran dirinya yang hidup dengan suasana modern ketika mengunjungi Baduy atau masyarakat adat lain.

Kalau yang dipakai perspektif, maka tidak ada jargon-jargon menyudutkan mereka dengan menyebut mereka sebagai kuno, tradisional atau primitif karena itu kehidupan mereka yang menyatu dengan alam.

Di era Orde Baru masyarakat adat dikelompokkan sebagai 'masyarakat atau warga terbelakang' hanya karena mereka hidup selaras dengan alam. Maka, dibuatlah proyek untuk memasyarakatkan masyarakat adat.

Apa yang terjadi kemudian?

Masyarakat adat 'mati' karena mereka tidak bisa hidup selaras dengan alam. Misalnya, Suku Laut di Sulawesi yang hidup di atas air dipindahkan ke daratan dengan jarak beberapa kilometer.

Mereka kewalahan karena ketika di perahu kapan saja mereka bisa memancing atau menjala ikan. Tapi, dengan kondisi yang disebut sebagai 'memasyarakatkan' mereka justru 'padam.'

Begitu juga dengan yang menjalankan kegiatan sekolah untuk anak-anak Suku Kubu di Jambi, Pulau Sumatera. Mereka tidak membutuhkan pakaian formal dengan pendidikan ala formal karena mereka belajar dari kehidupan yang selaras dengan alam. Intervensi ini jelas merusak tatanan sosial suku itu.

Ada pula menteri yang datang ke masyarakat adat dengan mengatakan: "Baru sekarang mereka mengenal Tuhan" karena menteri itu memperkenalkan agama yang dianutnya. Padahal, masyarakat ada sudah memegang religi yaitu hubungan mereka dengan Yang Maha Kuasa.

Maka, jika meminjam istilah yang diperkenalkan oleh Bang Hotman (Prof Dr Hotman M Siahaan, sosiolog di Unair, Surabaya) sudah saatnya wisatawan, terutama yang berkunjung ke masyarakat adat menerapkan 'wisata partisipatif' yaitu kegiatan yang menjadikan masyarakat adat sebagai subjek dan wisatawan sebagai objek.

Artinya, masyarakat adat bisa bertanya: "Apa manfaat yang kami terima dengan kedatangan kalian?" 

Dalam bahasa lain disebut upaya atau usaha memberdayakan masyarakat adat tanpa membuat mereka tercerabut dari akar sosial budaya mereka.

Jadi, tidak sekedar lihat sana lihat sini, tanya ini tanya itu, potret ini potret itu. Tapi, berikan kesempatan kepada mereka untuk mengetahui manfaat yang mereka terima yang akan berjalan secara berkesinambungan tidak sekedar memberikan uang atau benda-benda lain.

Letak geografis Baduy di Kab Lebak, Banten (Foto: kompas.id)
Letak geografis Baduy di Kab Lebak, Banten (Foto: kompas.id)

Judul berita di kompas.com (8/7-2020) ini menunjukkan 'amarah' masyarakat adat yang hanya sebatas objek: "Risih Jadi Tontonan, Alasan Suku Baduy Minta Wilayahnya Dihapus dari Destinasi Wisata."

Saya sering diajak ke Baduy, bahkan ketika ditugaskan meliput kegiatan mahasiswa pencinta alam sebuah perguruan tinggi swasta di Jakarta tahun 1990-an saya menolak ikut ke Baduy dan menunggu di desa terdekat yang jadi pos mereka.

Hal itu saya lakukan karena untuk menulis berita yang bersifat human interest tidak harus ke Baduy, naik gunung, masuk rimba belantara, menyelam, arung jeram dan lain-lain.

Lagi pula saya khawatir artikel dan berita serta laporan hanya merupakan tulisan di permukaan, semacam laporan pandangan mata, yang tidak membawa dampak berkelanjutan kepada masyarakat adat.

Sebenarnya ada beberapa isu yang bisa saya kembangkan terkait dengan Baduy untuk menyelamatkan kehidupan mereka yang menyatu dengan alam. Tapi, dengan sistem pemerintahan yang sudah otonom adalah hal yang mustahil bisa membalik keadaan kalau hanya dengan melancarkan kritik karena pejabat otonom sudah jadi penguasa.

Ilustrasi - Kawasan pemukiman Badui Dalam bisa kembali dikunjungi wisatawan. (Sumber: KOMPAS.com/GARRY LOTULUNG)
Ilustrasi - Kawasan pemukiman Badui Dalam bisa kembali dikunjungi wisatawan. (Sumber: KOMPAS.com/GARRY LOTULUNG)

Intervensi pemerintah di bidang kesehatan, misalnya, tidak mendorong pemanfaatan sumber daya alam bahkan bisa menimbulkan dampak buruk. Begitu juga dengan administrasi, tanpa kartu tanda penduduk (KTP) dan kartu keluarga (KK) semua orang Indonesia adalah warga negara Indonesia.

Tapi, celakanya pemerintah membalik hak (KTP) jadi kewajiban dan wajib pula mencantumkan salah satu dari enam agama yang diakui pemerintah. Ini benar-benar mengabaikan hak masyarakat adat yang memegang religi.

Nah, kalau saja wisatawan bisa memberikan manfaat bagi masyarakat adat itulah wisata atau pariwisata partisipatif. Tidak sekedar 'menonton' hal yang dianggap kuno, tradisional atau primitif sebagai wisata (yang) primitif (dari berbagai sumber). *

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Trip Selengkapnya
Lihat Trip Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun