Dalam bahasa lain disebut upaya atau usaha memberdayakan masyarakat adat tanpa membuat mereka tercerabut dari akar sosial budaya mereka.
Jadi, tidak sekedar lihat sana lihat sini, tanya ini tanya itu, potret ini potret itu. Tapi, berikan kesempatan kepada mereka untuk mengetahui manfaat yang mereka terima yang akan berjalan secara berkesinambungan tidak sekedar memberikan uang atau benda-benda lain.
Judul berita di kompas.com (8/7-2020) ini menunjukkan 'amarah' masyarakat adat yang hanya sebatas objek: "Risih Jadi Tontonan, Alasan Suku Baduy Minta Wilayahnya Dihapus dari Destinasi Wisata."
Saya sering diajak ke Baduy, bahkan ketika ditugaskan meliput kegiatan mahasiswa pencinta alam sebuah perguruan tinggi swasta di Jakarta tahun 1990-an saya menolak ikut ke Baduy dan menunggu di desa terdekat yang jadi pos mereka.
Hal itu saya lakukan karena untuk menulis berita yang bersifat human interest tidak harus ke Baduy, naik gunung, masuk rimba belantara, menyelam, arung jeram dan lain-lain.
Lagi pula saya khawatir artikel dan berita serta laporan hanya merupakan tulisan di permukaan, semacam laporan pandangan mata, yang tidak membawa dampak berkelanjutan kepada masyarakat adat.
Sebenarnya ada beberapa isu yang bisa saya kembangkan terkait dengan Baduy untuk menyelamatkan kehidupan mereka yang menyatu dengan alam. Tapi, dengan sistem pemerintahan yang sudah otonom adalah hal yang mustahil bisa membalik keadaan kalau hanya dengan melancarkan kritik karena pejabat otonom sudah jadi penguasa.
Intervensi pemerintah di bidang kesehatan, misalnya, tidak mendorong pemanfaatan sumber daya alam bahkan bisa menimbulkan dampak buruk. Begitu juga dengan administrasi, tanpa kartu tanda penduduk (KTP) dan kartu keluarga (KK) semua orang Indonesia adalah warga negara Indonesia.
Tapi, celakanya pemerintah membalik hak (KTP) jadi kewajiban dan wajib pula mencantumkan salah satu dari enam agama yang diakui pemerintah. Ini benar-benar mengabaikan hak masyarakat adat yang memegang religi.