Mohon tunggu...
Syaiful W. HARAHAP
Syaiful W. HARAHAP Mohon Tunggu... Blogger - Peminat masalah sosial kemasyarakatan dan pemerhati berita HIV/AIDS

Aktivis LSM (media watch), peminat masalah sosial kemasyarakatan, dan pemerhati (berita) HIV/AIDS

Selanjutnya

Tutup

Analisis Pilihan

Tidak Ada Politik Dinasti di Indonesia

15 Oktober 2023   12:48 Diperbarui: 21 Oktober 2023   12:57 225
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sesuai dengan kaidah Bahasa Indonesia, maka kata majemuk terkait politik dan dinasti yang benar adalah politik dinasti yaitu hukum DM (diterangkan menerangkan).

Isu ini kian santer karena Senin, 16 Oktober 2023, Mahkamah Konstitusi (MK) akan memutuskan gugatan terkait dengan batas umur minimal calon presiden (Capres) dan calon wakil presiden (Cawapres) yang antara lain dikaitkan dengan umur Gibran yaitu 36 tahun sementara batas umur minimal yang diatur UU adalah 40 tahun.

Dalam banyak hal seperti artikel, berita dan talk show di TV, istilah yang disebut adalah dinasti politik. Padahal, dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) yang benar adalah politik dinasti yaitu suksesi pejabat yang dilanjutkan oleh kerabat pejabat yang berkuasa dengan cara mewariskannya.

Politik yang terkait dengan urusan negara dalam hal ini pemerintah, sementara dinasti yaitu keturunan raja-raja yang memerintah yang semuanya berasal dari satu keluarga secara turun-temurun.

Jika dikaitkan dengan isu yang berkembang di Indonesia belakangan ini yaitu keluarga (istri, anak, menantu) dan kerabat pejabat, mulai dari presiden, menteri, anggota DRP, anggota DPRD, gubernur, bupati, wali kota dan lurah yang kemudian jadi menteri, anggota DRP, anggota DPR, gubernur, bupati, wali kota dan lurah tidak tepat karena mereka memenangkan kedudukan atau jabatan tersebut mekanisme formal yang diatur oleh undang-undang (UU) yaitu pemilihan dengan pijakan demokrasi.

Pada setiap pemilihan umum (Pemilu) anggota legislatif (DPR dan DPRD) serta pemilihan kepala daerah (gubernur, bupati dan wali kota) selalu muncul isu politik dinasti yang melibatkan anggota keluarga dan kerabat terdekat. Tapi, yang jelas mereka mengikuti prosedur formal yang diatur oleh UU bukan jabatan yang diwariskan jika kelak mereka menang.

Kalaupun disebut yang terjadi di Indonesia merupakan politik kekerabatan yaitu pejabat publik (gubernur, bupati dan wali kota) dan anggota legislatif mempunyai hubungan keluarga, tapi mereka tetap harus menjalankan pemerintah di koridor hukum yang tidak bisa diatur oleh pihak-pihak tersebut.

Hanya saja dalam bebarapa kasus politik kekerabatan jadi 'pintu masuk' untuk tindakan-tindakan yang melawan hukum, seperti korupsi, karena roda pemerintahan dipegang oleh segelintir orang. Selain itu politik dinasti juga disebut menghambat proses demokrasi dan menyuburkan KKN (korupsi, kolusi dan nepotisme) yang merusak tatanan untuk good governance.

Isu ini sudah sejak lama diperdebatkan, tapi selalu mental karena dibawa ke ranah hak asasi manusia (HAM) karena setiap warga negara mempunyai hak yang sama untuk dipilih dan memilih jabatan publik dan anggota legislatif selama tidak dibatalkan oleh pengadilan.

Presiden Joko Widodo (Jokowi) merupakan salah satu 'korban' dengan menjadikan politik dinasti sebagai 'peluru' menyerang Jokowi yang pada hakikatnya bermuara pada pen-zalim-an (KBBI: bengis; tidak menaruh belas kasihan; tidak adil; kejam).

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Analisis Selengkapnya
Lihat Analisis Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun