Sesuai dengan kaidah Bahasa Indonesia, maka kata majemuk terkait politik dan dinasti yang benar adalah politik dinasti yaitu hukum DM (diterangkan menerangkan).
Isu ini kian santer karena Senin, 16 Oktober 2023, Mahkamah Konstitusi (MK) akan memutuskan gugatan terkait dengan batas umur minimal calon presiden (Capres) dan calon wakil presiden (Cawapres) yang antara lain dikaitkan dengan umur Gibran yaitu 36 tahun sementara batas umur minimal yang diatur UU adalah 40 tahun.
Dalam banyak hal seperti artikel, berita dan talk show di TV, istilah yang disebut adalah dinasti politik. Padahal, dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) yang benar adalah politik dinasti yaitu suksesi pejabat yang dilanjutkan oleh kerabat pejabat yang berkuasa dengan cara mewariskannya.
Politik yang terkait dengan urusan negara dalam hal ini pemerintah, sementara dinasti yaitu keturunan raja-raja yang memerintah yang semuanya berasal dari satu keluarga secara turun-temurun.
Jika dikaitkan dengan isu yang berkembang di Indonesia belakangan ini yaitu keluarga (istri, anak, menantu) dan kerabat pejabat, mulai dari presiden, menteri, anggota DRP, anggota DPRD, gubernur, bupati, wali kota dan lurah yang kemudian jadi menteri, anggota DRP, anggota DPR, gubernur, bupati, wali kota dan lurah tidak tepat karena mereka memenangkan kedudukan atau jabatan tersebut mekanisme formal yang diatur oleh undang-undang (UU) yaitu pemilihan dengan pijakan demokrasi.
Pada setiap pemilihan umum (Pemilu) anggota legislatif (DPR dan DPRD) serta pemilihan kepala daerah (gubernur, bupati dan wali kota) selalu muncul isu politik dinasti yang melibatkan anggota keluarga dan kerabat terdekat. Tapi, yang jelas mereka mengikuti prosedur formal yang diatur oleh UU bukan jabatan yang diwariskan jika kelak mereka menang.
Kalaupun disebut yang terjadi di Indonesia merupakan politik kekerabatan yaitu pejabat publik (gubernur, bupati dan wali kota) dan anggota legislatif mempunyai hubungan keluarga, tapi mereka tetap harus menjalankan pemerintah di koridor hukum yang tidak bisa diatur oleh pihak-pihak tersebut.
Hanya saja dalam bebarapa kasus politik kekerabatan jadi 'pintu masuk' untuk tindakan-tindakan yang melawan hukum, seperti korupsi, karena roda pemerintahan dipegang oleh segelintir orang. Selain itu politik dinasti juga disebut menghambat proses demokrasi dan menyuburkan KKN (korupsi, kolusi dan nepotisme) yang merusak tatanan untuk good governance.
Isu ini sudah sejak lama diperdebatkan, tapi selalu mental karena dibawa ke ranah hak asasi manusia (HAM) karena setiap warga negara mempunyai hak yang sama untuk dipilih dan memilih jabatan publik dan anggota legislatif selama tidak dibatalkan oleh pengadilan.
Presiden Joko Widodo (Jokowi) merupakan salah satu 'korban' dengan menjadikan politik dinasti sebagai 'peluru' menyerang Jokowi yang pada hakikatnya bermuara pada pen-zalim-an (KBBI: bengis; tidak menaruh belas kasihan; tidak adil; kejam).
Di era Orde Baru (Orba) Presiden Soeharto mengangkat putri sulungnya, Siti Hardijanti Rukmana, yang lebih dikenal sebagai Mbak Tutut, jadi menteri sosial (Mensos) di Kabinet Pembangunan VII (14 Maret 1998 -- 21 Mei 1998).
Jika mengacu ke definisi politik dinasti, maka ketika Presiden Soeharto lengser tahun 1998 tentulah jabatan presiden diberikan ke Mbak Tutut. Tapi, ketika itu jabatan presiden diteruskan kepada BJ Habibie yang ketika itu sebagai wakil presiden (Wapres).
Nah, ketika Gibran Rakabuming Raka mencalonkan diri pada pemilihan Wali Kota Solo, Jateng, isu politik dinasti pun mencuat. Padahal, penetapan wali kota bukan ditunjuk atau diangkat oleh presiden, tapi berdasarkan hasil pemilihan yang diatur oleh UU.
Nada sumbang tentang politik dinasti yang menyerang Jokowi kembali mencuat ketika menantunya, Bobby Nasution, mencalonkan diri pada pemilikan Wali Kota Medan, Sumut.
Hasil pemilihan wali kota kemudian menunjukkan Gibran dan Bobby menang. Tapi, banyak kalangan yang selalu mengait-ngaitkan posisi Jokowi dengan kemenangan Gibran dan Bobby.
Jelang pemilihan presiden (Pilpres) 2024 bakal calon presiden dari Partai Gerindra, Prabowo Subianto, yang juga Ketua Umum Partai Gerindra, dikabarkan kebelet untuk menggandeng Gibran jadi pasangannya di Pilpres 2024. Hal ini mendorong banyak kalangan menyaruarakan politik dinasti, tapi lagi-lagi pada kerangka yang salah nalar karena politik dinasti itu sejatinya suksesi dengan cara menyerahkan kekuasaan kepada keluarga dan kerabat.
Sedangkan yang terjadi di Indonesia bukan suksesi (penggantian dengan mewariskan), tapi melalui mekanisme demokrasi yaitu pemilihan secara langsung, bebas dan rahasia yang diatur oleh UU.
Maka, pendidikan literasi politik yang komprehensif diharapkan bisa menjadi kunci untuk memutus mata rantai politik kekerabatan di Indonesia ketika warga memahami dampak buruk dari politik kekerabatan.
Tanpa literasi politik yang mumpuni, maka warga tidak akan bisa diharapkan bisa jadi ujung tombak untuk memutus mata rantai politik kekerabatan (dari berbagai sumber). *
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H