Mohon tunggu...
Syaiful W. HARAHAP
Syaiful W. HARAHAP Mohon Tunggu... Blogger - Peminat masalah sosial kemasyarakatan dan pemerhati berita HIV/AIDS

Aktivis LSM (media watch), peminat masalah sosial kemasyarakatan, dan pemerhati (berita) HIV/AIDS

Selanjutnya

Tutup

Analisis Pilihan

Tidak Ada Politik Dinasti di Indonesia

15 Oktober 2023   12:48 Diperbarui: 21 Oktober 2023   12:57 225
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi (Sumber: rappler.com)

Di era Orde Baru (Orba) Presiden Soeharto mengangkat putri sulungnya, Siti Hardijanti Rukmana, yang lebih dikenal sebagai Mbak Tutut, jadi menteri sosial (Mensos) di Kabinet Pembangunan VII (14 Maret 1998 -- 21 Mei 1998).

Jika mengacu ke definisi politik dinasti, maka ketika Presiden Soeharto lengser tahun 1998 tentulah jabatan presiden diberikan ke Mbak Tutut. Tapi, ketika itu jabatan presiden diteruskan kepada BJ Habibie yang ketika itu sebagai wakil presiden (Wapres).

Nah, ketika Gibran Rakabuming Raka mencalonkan diri pada pemilihan Wali Kota Solo, Jateng, isu politik dinasti pun mencuat. Padahal, penetapan wali kota bukan ditunjuk atau diangkat oleh presiden, tapi berdasarkan hasil pemilihan yang diatur oleh UU.

Nada sumbang tentang politik dinasti yang menyerang Jokowi kembali mencuat ketika menantunya, Bobby Nasution, mencalonkan diri pada pemilikan Wali Kota Medan, Sumut.

Hasil pemilihan wali kota kemudian menunjukkan Gibran dan Bobby menang. Tapi, banyak kalangan yang selalu mengait-ngaitkan posisi Jokowi dengan kemenangan Gibran dan Bobby.

Jelang pemilihan presiden (Pilpres) 2024 bakal calon presiden dari Partai Gerindra, Prabowo Subianto, yang juga Ketua Umum Partai Gerindra, dikabarkan kebelet untuk menggandeng Gibran jadi pasangannya di Pilpres 2024. Hal ini mendorong banyak kalangan menyaruarakan politik dinasti, tapi lagi-lagi pada kerangka yang salah nalar karena politik dinasti itu sejatinya suksesi dengan cara menyerahkan kekuasaan kepada keluarga dan kerabat.

Sedangkan yang terjadi di Indonesia bukan suksesi (penggantian dengan mewariskan), tapi melalui mekanisme demokrasi yaitu pemilihan secara langsung, bebas dan rahasia yang diatur oleh UU.

Maka, pendidikan literasi politik yang komprehensif diharapkan bisa menjadi kunci untuk memutus mata rantai politik kekerabatan di Indonesia ketika warga memahami dampak buruk dari politik kekerabatan.

Tanpa literasi politik yang mumpuni, maka warga tidak akan bisa diharapkan bisa jadi ujung tombak untuk memutus mata rantai politik kekerabatan (dari berbagai sumber). *

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Analisis Selengkapnya
Lihat Analisis Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun