Berita tentang bocah laki-laki, MD, 12 tahun yang tewas setelah 'dikerjai' oleh seorang kakek, N, 70 tahun, di Tapos, Depok, Jawa Barat (Jabar), pada Rabu, 27/9-2023. Disebutkan oleh polisi N memegang atau meremas penis MD.
Sampai 29/9-2023 dilaporkan sudah ada 10 bocah yang mengalami hal yang sama dengan MD.
Berita yang mengulas kejadian itupun mengait-ngaitkannya dengan pedofilia, seperti judul berita di CNN Indonesia ini (30/9-2023): "Waspada Pedofilia di Sekitar Kita."
Pedofilia adalah salah satu bentuk paraphilia (deviasi seksual yaitu menyalurkan dorongan seksual dengan cara-cara yang lain yang tidak lazim) dengan sasaran anak-anak, laki-laki dan perempuan, berumur 7-12 tahun.
Dalam prakteknya pelaku pedofilia memakai cara-cara yang 'beradab' yaitu menjadikan korban sebagai anak atau keponakan asuh, anak atau keponakan angkat bahkan sebagai istri dan seterusnya.
Pedofilia melakukan hubungan seksual penetrasi (seks vaginal, seks anal atau seks oral), sedangkan N hanya meremas penis korbannya.
Pedofilia juga tidak melakukan cara-cara seperti praktek pelacuran, misalnya dengan membayar untuk mendapatkan seks.
Maka, bertolak dari fakta yang terjadi di Tapos itu bukan bentuk pedofilia karena anak-anak yang jadi korban tidak mempunyai 'hubungan sosial' dengan pelaku.
Itu artinya judul di CNN Indonesia itu tidak tepat karena secara seksual yang dikaitkan dengan paraphilia N bisa disebut sebagai seorang frotteurist.
Dalam prakteknya pelaku frotteurisme yang merupakan bentuk paraphilia memerlukan pemicu untuk mencapai kepuasan seksual berupa orgasme yaitu dengan menggosokkan alat kelamin ke orang lain tanpa persetujuan.
Tapi, dalam kasus N ini agak berbeda karena dia memegang penis anak-anak itu. Tapi, bisa saja ini merupakan bentuk paraphilia yang mendekati frotteurisme,
Biasanya frotteurist menikmati pengalaman seksual pribadi melalui frotteurisme di tempat umum, seperti angkutan umum atau keramaian. Frotteurist disebut sering dilakukan usia muda, tapi juga terjadi pada usia lanjut (Lansia) dengan sifat pendiam dan kurang bersosialisasi dengan masyarakat. Frotteurist bisa juga terjadi pada perempuan.
Memang, N melakukan pelecehan seksual terhadap anak-anak di usia (7-12) yang merupakan rentang usia yang jadi sasaran pedofilia, tapi N tidak otomatis seorang pedofilia.
Yang dilakukan N jelas merupakan bentuk kejahatan seksual berupa tindak pidana yang melawan norma, agama dan hukum. Polisi telah menetapkan N sebagai tersangka yang dijerat dengan Pasal 82 UU RI Nomor 17 Tahun 2016 tentang Perlindungan Anak dengan hukuman paling lama 15 tahun penjara.
Sedangkan pedofilia tidak melakukan perbuatan yang menimbulkan kehebohan karena mereka melakukannya dengan cara-cara yang halus dan 'beradab.'
Seperti orang Bule di daerah tujuan wisata (DTW) di Tanah Air mereka memberikan les bahasa Inggris gratis dan kegiatan sosial lain.
Lalu kalau ada anak yang disukainya dia jadikan anak angkat atau anak asuh. Keluarga anak itu pun mendapat bantuan ekonomi dari pelaku. Ada juga anak-anak itu yang dibawa pedofilia ke negaranya dengan alasan untuk disekolahkan.
Maka, pedofilia berkedok sebagai 'malaikat penyelamat' terutama di lingkungan masyarakat miskin di DTW. *
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H