Dalam prakteknya pelaku frotteurisme yang merupakan bentuk paraphilia memerlukan pemicu untuk mencapai kepuasan seksual berupa orgasme yaitu dengan menggosokkan alat kelamin ke orang lain tanpa persetujuan.
Tapi, dalam kasus N ini agak berbeda karena dia memegang penis anak-anak itu. Tapi, bisa saja ini merupakan bentuk paraphilia yang mendekati frotteurisme,
Biasanya frotteurist menikmati pengalaman seksual pribadi melalui frotteurisme di tempat umum, seperti angkutan umum atau keramaian. Frotteurist disebut sering dilakukan usia muda, tapi juga terjadi pada usia lanjut (Lansia) dengan sifat pendiam dan kurang bersosialisasi dengan masyarakat. Frotteurist bisa juga terjadi pada perempuan.
Memang, N melakukan pelecehan seksual terhadap anak-anak di usia (7-12) yang merupakan rentang usia yang jadi sasaran pedofilia, tapi N tidak otomatis seorang pedofilia.
Yang dilakukan N jelas merupakan bentuk kejahatan seksual berupa tindak pidana yang melawan norma, agama dan hukum. Polisi telah menetapkan N sebagai tersangka yang dijerat dengan Pasal 82 UU RI Nomor 17 Tahun 2016 tentang Perlindungan Anak dengan hukuman paling lama 15 tahun penjara.
Sedangkan pedofilia tidak melakukan perbuatan yang menimbulkan kehebohan karena mereka melakukannya dengan cara-cara yang halus dan 'beradab.'
Seperti orang Bule di daerah tujuan wisata (DTW) di Tanah Air mereka memberikan les bahasa Inggris gratis dan kegiatan sosial lain.
Lalu kalau ada anak yang disukainya dia jadikan anak angkat atau anak asuh. Keluarga anak itu pun mendapat bantuan ekonomi dari pelaku. Ada juga anak-anak itu yang dibawa pedofilia ke negaranya dengan alasan untuk disekolahkan.
Maka, pedofilia berkedok sebagai 'malaikat penyelamat' terutama di lingkungan masyarakat miskin di DTW. *
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H