Belum lama ini, tepatnya 31/7-2023, Presiden Joko Widodo (Jokowi) meresmikan sodetan Ciliwung yaitu rentangan pipa dari Kali Ciliwung di Kelurahan Bidara Cina, Jatinegara, Jakarta Timur, sepanjang 1.268 meter ke Banjir Kanal Timur (BKT) di Kali Cipinang juga di Jakarta Timur.
Fungsi sodetan itu akan teruji pada musim hujan yang satu dua bulan ke depan.
Sodetan itu 'membuang' air yang meluap di Ciliwung berupa air hujan kiriman dari hulu yaitu mulai dari kawasan Puncak (Kabupaten Bogor dan Kabupaten Cianjur) serta Kota Bogor dan Kota Depok, semuanya di wilayah Jawa Barat.
Air kiriman itu yang dikabari dari Pintu Air Katulampa, Bogor, menggenangi wilayah Jakarta, Â terutama di sepanjang bantaran Ciliwung.
Tentu saja sodetan itu tidak akan bisa menyedot semua volume air yang mengalir deras dari hulu Ciliwung. Air yang tidak tersedot akan masuk ke wilayah Jakarta yang diperparah dengan air hujan di hilir sodetan. Penyerapan ke bawah permukaan tanah tidak besar karena permukaan air tanah yang tinggi yang diperburuk oleh instrusi air laut yang sudah sampai ke daratan Jakarta. Kondisnya kian parah karena ada pula dorongan dari laut ketika air pasang.
Di masa Gubernur Anies Baswedan ada program pembuatan sumur resapan. Tapi, ini sia-sia karena permukaan air tanah didorong intrusi air laut sehingga tidak efektif. Lagi pula berdasarkan wawancara penulis dengan ahli geologi di Bandung (1983) untuk laporan di Tabloid "Mutiara" sumur resapan itu efektif di lahan perbukitan.
Maka, tanpa memperbaiki kondisi daerah aliran sungai (DAS) Ciliwung mulai dari hulu program penanggulangan banjir di Jakarta akan sia-sia saja.
Jika dilihat dari aspek geografi maka amatlah wajar Jakarta selalu banjir karena sifat air yang selalu mengalir dari daerah yang yang tinggi ke daerah yang lebih rendah.
Jika disimak aliran Sungai Ciliwung dari hulu di Mandalawangi, Kabupaten Bogor, Jawa Barat, dengan puncak tertinggi 3.000 meter di atas permukaan laut (mdpl) secara alamiah air sungai dari hulu akan mengalir deras ke Jakarta dengan mdpl rata-rata 5 -- 7 mdpl. Aliran Sungai Ciliwung sepanjang 119 km.
Air Hujan Jadi Run Off
Sungai Ciliwung mengalir dari Mandalawangi ke Jakarta melewati kaki Gunung Salak, Gunung Kendeng, dan Gunung Halimun serta membelah Kota Bogor dan Kota Depok. Sungai Ciliwung jadi 'muara' beberapa sungai sebelum bermuara ke Laut Jawa di Teluk Jakarta.
Daerah di sepanjang aliran Ciliwung, terutama di bantaran (daerah rendah di kiri kanan aliran sungai) sudah 'gundul' karena hanya ditanam denga palawija dan 'banguan' (rumah, fasilitas umum, villa dan lain-lain).
Air hujan pun tidak meresap lagi dalam tanah, tapi jadi air permukaan yang terus mengalir ke daerah yang lebih rendah. Di daerah rendah di pantai akan tergenang karena ada air pasang dan rob.
Selain karena perbedaan letak geografis berdasarkan tinggi daerah dari permukaan laut di sepanjang DAS, menyebabkan air hujan mulai dari hulu sampai hilir jadi run off (aliran air di permukaan tanah) karena kondisi daerah tangkapan hujan (catchment area) di hulu dan di sepanjang daerah aliran sungai (DAS) tidak bisa lagi menahan air hujan karena tidak ada hutan atau pepohonan besar.
Program yang Tidak Realistis
Di kawasan Puncak lereng dengan kemiringan lereng di atas 40% pun sudah dijadikan lahan palawija dan permukiman, sarana pariwisata dan villa-villa pribadi.
Tanaman palawija dan permukiman serta bangunan pariwisata jelas tidak bisa menyerap air hujan sehingga jadi run off yang pada gilirannya akan menimbulan banjir bandang dan longsor. Jika di hulu dan DAS ada hutan dengan tanaman keras dan rumpun bambu, maka air hujan akan ditahan dan dilarikan ke bahwa permukaan tanah melalui akar-akar pohon.
Air hujan yang jadi run off kian deras karena di sepanjang aliran sungai Ciliwung beberapa situ sudah beralih fungsi jadi permukiman sehingga tidak bisa lagi menampung air sebagai penahan arus air permukaan.
Ada Bendungan Ciawi dan Sukamahi untuk menahan laju air Sungai Ciliwung sebelum sampai ke Jakarta. Tapi, di hilir bendungan itu air hujan jadi air permukaan yang mengalir ke Ciliwung.
Di zaman kolonial Belanda di aliran Ciliwung dibangun situ, semacam danau kecil, yang berfungsi sebagai penahan aliran air ke hilir (Jakarta), tapi belakangan situ-situ itu 'hilang' karena dijadikan permukiman dan lain-lain. Akibatnya, situ hilang dan air tidak bisa lagi 'parkir' sehingga terus mengalir ke hilir.
Sedangkan di daerah hilir, dalam hal ini Jakarta, selain membangun danau buatan juga disediakan areal luas untuk penguapan di beberapa lokasi yang sekarang berganti fungsi jadi permukiman dan kegiatan bisnis serta bandar udara (Bandara).
Kalau saja konversi areal penguapan itu disubstitusi dengan membuat areal penguapan baru tentulah tingkat keparahan banjir di Jakarta akan berkurang.
Apa pun yang dilakukan Pemprov DKI Jakarta untuk mengatasi banjir (kiriman) akan sia-sia bak menggantang asap karena persoalan bukan di Jakarta tapi di hulu dan di sepanjang DAS Sungai Ciliwung (Bahan-bahan dari: wikipedia.org dan sumber-sumber lain). *
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H